Idiocracy?

Bertahun-tahun yang lalu, gue nonton film berjudul Idiocracy di DVD. Biasa lah, pas beli DVD-nya, gue sangka itu film komedi konyol-konyolan yang enteng buat dicerna otak. Ternyata, meski konyol, kontennya lumayan berat dan kalo dipikirin, bisa bikin kening berkerut lho. Apalagi kalo dikaitkan dengan kehidupan gue sebagai emak-emak sekarang *maklum gue kan emang lebay*

*picture’s taken from here *

Inti ceritanya,  si tokoh utama, Joe Bauers (diperankan Luke Wilson), adalah orang dengan kemampuan rata-rata di segala bidang. Gak outstanding gitu lah. Dia kemudian dipilih dalam program hibernasi eksperimen US Army. Saat dia bangun 500 tahun kemudian, dia terjebak di tengah dunia yang penuh dengan orang idiot. Bumi jadi kotor dan penuh tumpukan sampah, karena penduduknya idiot semua. Malah, si Joe ini jadi orang paling pinter sedunia dan didaulat untuk jadi presiden. Untuk sinopsis cerita lengkapnya, silakan baca sendiri di sini ya.

Nah, yang mau gue highlight adalah salah satu ide dasar film itu. Dikisahkan di awal film, kaum intelektual rata-rata enggan beranak pinak. Kalopun punya anak, paling-paling cuma 1-2 anak aja. Sementara mereka yang *sori* miskin, homeless, bodoh, bisa punya anak dengan seenak udelnya.

Fenomena ini gue sadari betul adanya saat ini. Perhatiin nggak sih, sekarang jumlah anak jalanan lebih banyak dari biasanya? Kalo lagi naik bis, pasti ada aja anak-anak kecil yang ngamen atau ngemis. Pengemis sambil gendong bayi yang masih merah pun banyak. Di sepanjang jalan Casablanca deket kantor gue, banyak ibu yang menggendong anaknya untuk jadi joki 3 in 1. Atau ada juga anak-anak kecil yang juga ikutan ngejoki. Di beberapa titik lampu merah, banyak ibu/bapak yang nongkrong, menunggu anak-anaknya yang lagi ‘kerja’ ngamen atau mengemis.

Sementara kaum intelektual, atau di sini gue loosely interprete as kaum menengah atas ya, jarang banget yang mau punya anak banyak. Rata-rata justru merasa punya anak 1 aja udah bagus dan cukup. Maksimal 2 anak lah. Kenapa? Karena biasanya mereka ingin kasih yang terbaik untuk anak. Sekolah dan biayanya udah direncanain dari jauh-jauh hari, bahkan sebelum anak lahir.

Belum lagi urusan waktu, terutama jika ibu dan bapak sama-sama bekerja. Biasanya alasan tidak mau punya anak banyak adalah supaya orang tua bisa memberi perhatian kepada anak, sambil tetap mampu mengejar karier agar posisi di kantor lebih bagus lagi.

Emang sih, nggak ada bukti linear bahwa orang tua bodoh/miskin/homeless akan menghasilkan anak yang sama seperti mereka. Begitu juga orang tua pinter/tajir/sukses akan menghasilkan anak yang pinter/tajir juga. Banyak orang yang sekarang sukses, ternyata orang tua-nya miskin dan bodoh. Banyak juga anak-anak yang orang tuanya sukses tapi malah jadi ‘pain in the ass’ atau penyakit masyarakat.

Jadi premis si film Idiocracy seolah-olah menggeneralisir kondisi manusia aja. Makanya di situ diceritakan, lama kelamaan, kaum ‘idiot’ lah yang rule the world karena mereka beranak pinak, sementara kaum intelektual karena terlalu banyak mikir ini-itu, malah gak punya generasi penerus. Yah namanya juga film ya neik. Cari logika yang gampil aja lah 🙂

Tapi ya emang gue akui, di satu sisi, film itu ada benernya juga. Terutama soal keengganan kaum intelektual/menengah atas untuk beranak pinak banyak-banyak. Gue soalnya gitu, hehehe.. *ngaku-ngaku masup golongan menengah atas padahal masih jauh juga :P*

Punya anak satu aja gue ngerasa so far udah cukup karena gue masih pengen berkarier lah, punya me time lah, mau kuliah lagi lah, etc. Pokoknya segudang alasan yang terdengar sangat self-center. Belum lagi alasan pendidikan mahal, susah cari nanny/ART yang cocok, parno melihat dunia yang semakin kejam, etc etc.

Sementara kalo ngeliat orang-orang dari lower class, kayaknya mereka untuk punya anak nggak pake acara mikir macem-macem. Kayak tukang sampah deket tempat nyokap. Udah dia penyakitan, kerja serabutan, anak 5, eh bininya masih hamil lagi. Bujug dah. Emang sih tetangga-tetangga di lingkungan itu sering kasih bantuan. Tapi masa seterusnya dia mau menggantungkan hidupnya dan anak-anaknya kepada belas kasihan orang lain? Ya nggak gitu juga kali caranya.

Trus gimana dong caranya supaya dunia masa depan kayak di film Idiocracy gak terjadi? Masa kita-kita disuruh punya anak banyak gitu? Silakan lho yang berminat. Saya sih kayaknya nyerah deh, hahaha… *lap keringet*

8 thoughts on “Idiocracy?

  1. Ini kenyataan banget di sini, Ra. Dan di banyak negara Eropa kayanya. Penduduk aslinya (yg bisa dibilang keadaannya enak dan mapan) pada males punya anak, sampe diiming2i segala macam kemudahan sama pemerintah pun tetep aja laju pertumbuhannya minus.

    Sementara imigran-nya, atau kaum pengungsi, yang kadang kerja aja kagak dan hidup pas2an dari tunjangan pemerintah, malah semangat banget beranak pinak. Gak heran sih kalo Eropa lagi sensitif bgt sama pertambahan imigran di negaranya, pajaknya byk yg kepake buat ngidupin imigran.

    • That’s exactly what I’m talking about, Rik! Salah-salah, nanti negara-negara Eropa didominasi oleh imigran lagi. Ini mungkin ya yang jadi salah satu ide platform di balik munculnya beberapa partai politik rasis di Belanda, dll. Mereka ketakutan sama pertumbuhan imigran yang begitu pesat, tapi mau menandingi dengan pertumbuhan penduduk lokal sendiri gak bisa.

      Btw lo gak dianggap imigran kan karena bersuamikan penduduk asli? Berarti dapet reward dong kalo punya anak banyak? Pas bener dah, secara ente gak mau pake IUD kan 😀

  2. Tulisan ini bener banget, mak. Gue jadi turut berpikir tentang bagaimana nasib masa depan bangsa kita inih *tsaahh..*. Makanya sekarang kan pemerintah gencar banget yak kampanye KB. Walaupun kadang isi iklan KB suka rada ‘maksa’ menurut gue, tapi mungkin untuk kalangan menengah ke bawah, kampanye2 KB musti bersifat ‘memaksa’ kali yaa…

    • Iya Jeng Nuri. Lo bayangin nggak sih, kalo nanti negara kita, or bahkan dunia, berubah kayak di film Idiocracy itu? Makanya gue setuju banget langkah pemerintah untuk ‘maksa’ ber-KB. Urusan makan mungkin semua orang bisa lah, even cuma makan nasi+garam ya. Tapi untuk pendidikan, itu kan mahal bok. Dan tanpa pendidikan yang proper, gimana bangsa bisa maju?

      *tsah serius amat bahasa gue :P*

  3. Pernisi numpang lewat dan share… 🙂
    Sama seperti seerika, Jepang juga sudah mengiming2 segala macem stimulus untuk menaikkan birth ratenya, dari maternity benefit, child benefit, medical cost gratis dsb. Tapi tetep aja tidak fektif, mungkin juga karena biaya hidup, tidak ada nanny (maid pun ga ada. kecuali sekaya seleb kali ya) dan… jam lembur yang sangat panjang….

    Alhasil kayanya pemakai fasilitas ya orang2 asing, dimana banyak case datang sendiri pulang borongan, termasuk saya juga hehehe… Tapi kita kan bayar tax, jadi fair lah ya.. (kenapa jd self-defense inih? hahaha)

    Jadi kalau si pemeran utama bangunnya lebih cepat, eg.100 tahun kemudian, mungkin sudah tidak ada lagi Hiraiken atau Hamaayu2 muda nyanyi Jpop, adanya wong Jowo nyanyi Keroncong hehehehe…

    Negara maju2 itu mungkin salah ambil langkah. Semua benefit2 itu tidak ada artinya dibanding sebuah kalimat “Banyak anak, banyak rejeki”. 😀

    • Ah yaaa.. Bener Mak, di Jepang juga sama kayak di Eropa ya! Pantesan kakaknya temen gue betah bener di sono. Anaknya 3 cmiiw dan semua lahir di sana. Ternyata banyak gretongan ya bok 😀

      Eh sekarang jadi kepikiran gini nih. Buat kita-kita di Indonesia kan punya temen yang lahir di Tokyo, Amsterdam, Oslo, etc kayaknya kereeen banget. Padahal sebenernya lebih keren yang lahir di Jakarta ya. Kan yang lahir di Tokyo itu produk gratisan semua biaya rumah sakitnya. Di Jakarta mah, di Puskesmas aja kudu bayar 😀

      Huahaha.. Bener tuh, nanti JPop tetep ada Mak. Tapi mungkin penyanyinya berkulit sawo matang, mata bulat dan hidung pesek, nggak lagi berkulit putih, mata sipit dan hidung mungil. Wong Jowo kabeeh! 😀

  4. Pingback: Grow in Heart not Tummy « The Sun is Getting High, We're Moving on

  5. Pingback: Childfree VS Anak Banyak Tanpa Mikir | The Sun is Getting High, We're Moving on

Leave a comment