Tentang Pendidikan: Ambisi Ortu (4, selesai)

Ini adalah bagian terakhir dari serial (ceileh) Tentang Pendidikan. Postingan sebelumnya adalah sekolah favorit, ujian nasional, dan sistem zonasi.

Nah sekarang kita masuk ke episode 4 yakni

4. Ambisi Ortu

Urusan ambisi ortu mah dari zaman kuda gigit besi udah banyak bener ya. Pas lagi ngomongin soal zonasi, sekolah, dkk aja, banyak yang kirim DM cerita tentang kisah dirinya, sodaranya, atau temannya yang terjebak ambisi ortu.

Apalagi pas ngomongin penjurusan di SMA. Gue baru tau zaman sekarang, begitu daftar SMA Negeri, calon siswa harus menyertakan jurusan apa yang ia minati nanti. Apakah IPA atau IPS. Jurusan Bahasa gue gak tau deh masih ada atau gak ya.

Nah, dari beberapa teman gue yang anak-anaknya masuk SMA tahun ini, gue dapet info kalo rata-rata sekolah negeri saat ini lebih didominasi kelas jurusan IPA. Alhasil, seorang teman kantor yang anaknya mau daftar jurusan IPS di SMA Negeri jadi terlempar-lempar karena sekolah yang dia minati hanya punya 1-2 kelas IPS aja.

Gue terus terang kaget karena di zaman gue dulu, kelas IPA justru cuma dikiit. Pas gue kelas 3 SMA dulu, angkatan gue cuma ada 2 kelas IPA dan 4 kelas IPS. Sekarang, kondisinya terbalik ya.

Continue reading

Rahim Aing, Kumaha Aing?

Belakangan ini, dengan maraknya socmed, masyarakat lebih gampang dan leluasa menyuarakan isi hati. Mulai dari urusan pekerjaan, keluarga sampai hal-hal yang bersifat pribadi. Salah satunya adalah urusan jumlah anak.

Banyak kan tuh di FB yang berkampanye soal “rahim gue, urusan gue.” Atau kalo di-Sunda-Sunda-in, jadi “rahim aing, kumaha aing.” 😀

Ini awalnya sih dikampanyekan oleh orang-orang yang belum punya anak atau memutuskan untuk tidak punya anak. Maklum, kultur kita kan kultur kepo. Semua yang dianggap kurang “lazim” dengan norma masyarakat, pasti ditanyain.

Gak berapa lama, kampanye itu juga digunakan oleh orang lain, terutama kaum yang ingin punya anak banyak. Lagi-lagi karena mereka lelah dengan kultur kepo masyarakat sekitar. Norma yang lazim di masyarakat adalah, 2 anak, jenis kelaminnya sepasang, atau laki-laki dan perempuan. Jadi kalo jumlahnya kurang atau lebih dari itu, dan gendernya gak sepasang, pasti dikepoin.

Oke lah, untuk urusan itu gue gak bermasalah. Gue cukup setuju koq. Anak gue, urusan gue. Rahim gue, urusan gue. Jadi, buat apa orang lain usil. Gitu ya kira-kira.

Continue reading

Anak Sentimental (2)

Setahun lalu, gue pernah nulis postingan berjudul sama. Isinya tentang Nadira yang sentimental banget karena gue lagi sering ke luar kota. Nah di postingan ini, gue mau cerita hal yang sama sih basically.

Jadi, minggu kemarin gue seminggu penuh ke Polandia. Ini pertama kalinya gue pergi jauuh banget dari rumah. Dari jauh-jauh hari, gue udah kasitau Nadira, sesuai SOP yang selalu gue lakukan sebelum pergi dines ke luar kota/negeri.  Gue jelasin, Polandia adanya di Eropa sebelah mana. Trus beda waktunya berapa lama. And so on and so on.

Begitu sadar kalo Polandia itu jauh beeng dari Jakarta, langsung cedih deh dia. Tiap malem terjadi perbincangan ini:

N: Ibu kerja aja, nggak usah ke Polandia.

I: Lho, Ibu ke Polandia kan kerja. Bukan jalan-jalan.

N: Iya, maksud Mbak Dira, Ibu kerja di kantor aja. Nggak usah ke Polandia. Jauh soalnya.

Hihihi..

Next time, dia bilang gini “Semoga pesawat Ibu rusak. Jadi ibu gak bisa berangkat ke Polandia.”

Halaahh…

Continue reading

#9 Nadira’s Future Boyfriend (WTF?!?!?)

Di media lagi hangat-hangatnya berita tentang pembunuhan Ade Sara yang dilakukan mantan pacarnya + cewek baru si mantan. Banyak yang nggak habis pikir dengan kasus ini. Apalagi mengingat si pelaku, dan juga korban, baru berusia 19 tahun. Motifnya juga cetek, yakni cemburu dan sakit hati.

Gue sampe mewek tuh malem-malem baca wawancara beberapa media dengan ibunya Ade Sara. Beliau amat tenang, pemaaf dan berhati mulia. Padahal Ade Sara adalah anak semata wayang, yang amat dekat dengan ibunya. Apa-apa diceritain. Bahkan sang ibu jadi bestfriend utama Ade Sara untuk cerita macem-macem tentang kehidupan sosial dan masalah yang dia hadapi. *aduh ini ngetiknya langsung berkaca-kaca*

Gara-gara kasus itu, gue jadi keinget salah satu usulan tema dalam proyek #25themeswritingchallenge. Temanya berasal dari May yakni tentang kriteria pacar Nadira kelak dan di umur berapa kira-kira gue akan memperbolehkan dia pacaran.

Continue reading

Seleb Teridola

Kali ini nggak ngomongin artis idola gue as in my personal idol ya. Tapi ngomongin artis idola yang gue suka dan pengen jadi role model bagi Nadira kelak.

Gara-garanya sih kemarin baca berita tentang Miley Cyrus. Dalam acara MTV Europe Music Awards 2013 di Belanda, dia pake baju yang bikin sakit mata. Trus dia tampil di atas pentas dan kembali twerking yang sebelumnya bikin heboh banget di MTV Video Music Awards 2013. Nggak cukup itu, dia sempet mengisap selinting ganja di atas panggung saat menerima penghargaan. Aksinya ini disorot kamera dan disiarkan ke berbagai negara.

Reading the news I was like. WTF???

She desperately tries to get out from the public image as child star, particularly, Hannah Montana. Tapi caranya itu lho bikin ngelus dada Brad Pitt banget. Gue sampe khawatir kalo tingkah nih bocah bakal di-copy paste oleh fans-nya. Dan kekhawatiran gue nggak sendirian. Komen gue dan beberapa ibu lain pernah di-posting di Mommiesdaily ini. Di luar negeri sendiri, banyak ortu yang concerned dengan aksi si Neng satu itu. Dan ternyata, banyak juga cewek-cewek seumur Miley yang disgusted sama penampilannya itu.

*Duh gue pengen sharing link artikelnya tapi nyelip entah dimana. Nanti deh kalo ketemu lagi, gue update dimari ye.*

Continue reading

Send Our Daughters to College

Zaman dulu, pepatah mengatakan “Buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi? Toh nanti baliknya ke dapur juga.” Zaman sekarang, masih ada sih yang bilang begitu. Tapi Alhamdulillah, udah banyak bergeser ya.

Untuk urusan pendidikan, gue salut sama keluarga MIL gue. Alm eyangnya suami selalu mendorong semua anaknya, terutama anak perempuan, untuk mendapatkan pendidikan sebaik mungkin agar mereka nggak ditindas oleh laki-laki. Jadi, dari zaman jebot pun, MIL dan kakak-adiknya udah kuliah dengan baik dan benar. Jiwa kepemimpinan mereka pun mumpuni.

But on the other hand, mereka jadi sosok perempuan yang keras, susah kompromi dan nggak mau mengalah. Alhasil, di keluarga MIL, ada beberapa tante yang tidak menikah sampai sekarang. Atau kalaupun menikah, kondisi rumah tangganya kurang sejahtera. Cuma MIL aja kayaknya yang lumayan bisa “takluk”, karena beliau dapat suami yang bisa mengayomi. Kalo gue liat sih, dalam mendidik anak-anaknya, MIL juga pake cara itu. Makanya hubby dan SIL disuruh S2 selepas S1, baru kerja deh.

Continue reading

Mizunderstood

Gara-garanya kemarin gue aplot foto di instagram pas lagi main uncang-uncang angge sama Nadira *urang Sunda pasti paham mainan ini deh*. Trus gue konek ke FB. Fotonya biasa aja sih, mana eikeh belum mandi pula di situ hihihi *tutup hidung*

 

Tuh biasa aja kan? Berantakan pula rumah, gara-gara Nadira abis ngebuka semua mainannya. Captionnya juga standar yakni: “Main uncang-uncang angge sama anak seberat 22 kg itu bisa dianggap leg workout kan ya? :)” Ceritanya masih berkaitan sama program sehat gue yang ini nih.

Eeeh yang gak diduga-duga, tiba-tiba di FB, dua orang temen SMP dan SMA gue komen. Begini nih komennya:

Continue reading

Everyone is Beautiful

Tiap hari setelah pulang kerja, gue selalu berusaha kasih waktu sebanyak-banyaknya untuk Nadira. Bukan, bukan karena takut dibilang karyawan bukan ibu, kayak celotehan gak jelas sang (so-called) ustaz. Tapi emang gue menikmatinya koq.

Jadi deh tiap malem pasti kita kruntelan berdua sambil Nadira cerita hari itu dia ngapain aja, atau tentang cita-citanya (jadi artis bok!), tentang teman-temannya di sekolah (terutama Doni dan Toni di postingan Monkey Love kemarin, hihihi) 😀 dll dsb.

Nah, minggu lalu, selama dua hari berturut-turut, Nadira cerita kisah berikut ini nih:

G: Mbak Dira kalo di sekolah ngapain aja?
N: Main-main. Bu, bu, masa kemarin Siti bilang Mbak Dira jelek lho.
G: *ndredeg* Masa sih? Jelek gimana kata Siti?
N: Iya, kata Siti Mbak Dira jelek mukanya.
G: *mau nangis* *tahan nafas* Trus perasaan Mbak Dira gimana? Sedih nggak?
N: Nggak, Mbak Dira nggak sedih.
G: Bagus kalo gitu. Di dunia ini, nggak ada orang yang jelek. Semua orang itu cantiikk lho. Inget ya, Mbak.
N: Tapi Toni dan Doni gak cantik Bu.
G: Ya iya laah.. Toni dan Doni kan boys, jadi ganteng. *unyel-unyel*

Oh girl, if you only knew how I felt when you told me the story. The world is cruel out there, so being strong and confident are the only things you can do to face it. Please stay that way,ok?

Regardless what people say or will say about you in the future, remember, you’re still the prettiest girl I’ve ever seen. *rabid mom alert*

“There is only one beautiful child in the world, and every mother has it.” [Chinese proverb]

Get Offended? Be It!

Have you read my latest article posted in Mommies Daily here? Do you feel intrigued, or even offended, when reading it? If you do, my mission is accomplished then 🙂

Jadi ya, alasan gue nulis artikel itu macem-macem bin campur aduk. Kebanyakan sih gara-gara gemes suremes sama beberapa orang yang gue kenal yang memperlakukan ortu dan mertua mereka gak lebih kayak pengasuh anak, or worse, pembantu pribadi. Hati gue sediiihh banget. Apalagi pas gue cerita ke hubby yang dididik untuk menghormati dan mencintai ortu, baik kandung maupun mertuanya. Dia pun jadi ikutan marah-marah sendiri.

Plus gue abis nonton Parental Guidance (yang mana sebenernya gak terlalu nyambung sih, hahaha..). Langsung deh terinspirasi nulis begituan.

Mau tau kisah-kisah memilukannya? Cekidot:

Continue reading

Main Layangan

Beberapa hari lalu, gue naik metromini. Di depan gue duduk seorang ibu dan anaknya, lelaki, yang kira-kira baru berusia 5-6 tahun. Saat metromini ngetem, si anak bilang dia haus dan minta izin untuk beli minum ke ibunya. Si ibu memberinya uang dua ribuan, mengizinkan si anak beli minuman di pedagang kaki lima di terminal dengan pesan pendek “Jangan lama-lama ya. Nanti ketinggalan lho.”

Si anak pun mengangguk, lalu turun dari metromini. Si ibu santai aja duduk di bangku, tanpa tanda-tanda khawatir. Nggak berapa lama, si anak datang, bawa dua gelas air mineral dingin. Satu dikasih ke ibunya, satu dia minum sendiri. Uang kembalian ia berikan kepada ibunya.

Gue sebagai penonton langsung termenung. Zaman sekarang, dengan maraknya berbagai kasus kriminalitas, bullying, etc terhadap anak-anak, orang tua cenderung membatasi dan over protektif kepada anak-anak mereka. Termasuk gue dan suami. Bahkan suami gue saking lebaynya, Nadira sekolah deket aja disuruh ikut mobil jemputan. Padahal jalan kaki juga sampe bok *garuk-garuk kepala*

Continue reading