Beberapa minggu lalu, gue ketemu temen, si Dini (bukan nama sebenarnya). Sambil ngobrol ngalor ngidul, kita sempet cerita-cerita tentang seorang temen lama kita, sebut aja namanya si Adam. Fokusnya pada postingan Facebook yang ditulis Adam belum lama ini.
Di situ, Adam curhat sekaligus marah-marah tentang pendidikan anaknya. Ceritanya, anak Adam, sebut aja Ani yang duduk di bangku kelas 6 SD, adalah anak yang lemah di bidang matematika. Udah berkali-kali Adam dan istrinya dapat surat cinta dan panggilan dari sekolah untuk mendiskusikan kelemahan Ani itu. Yang paling baru, sekolah maksa Adam untuk tanda tangan surat pernyataan bermaterai yang menyebutkan bahwa sekolah sudah berkali-kali kasitau ortu. Sehingga mereka bisa kasih sanksi berupa Ani tidak lulus SD kalo nilai UN Matematikanya jelek.
Adam pun bikin status panjaaannggg nan emosional yang intinya, ngebela Ani lah. Dia sadar bahwa anaknya itu memang lemah di bidang matematika, tapi jagoan di bidang seni dan bahasa. Dari kecil pula, dia dan istrinya gak pernah maksa anak belajar. Anaknya ini dimasukin les bahasa Inggris ternama karena si anak suka bahasa. Ani juga di-encourage untuk mengembangkan bakat seninya karena dia suka.
Di status tersebut, Adam bolak-balik marah. Kepada sekolah yang mengancam Ani. Kepada sistem pendidikan di Indonesia yang masih mengagungkan matematika. Kepada guru-guru Ani yang dianggap kurang sabar dan telaten ngajarin anaknya.
Continue reading →