*saat artikel ini di-publish, Insya Allah gue udah sembuh jadi bisa cerita ala-ala penyintas gitu. Sengaja ditulisnya saat masih sakit, sebagai catatan harian gitu.
Kenapa gak di-publish sekarang aja saat masih sakit? Karena suami gue tipe yang sangat tertutup. Dia bahkan gak kasi tau soal kami kena Covid ke siapa pun, kecuali keluarga inti (ibu dan adiknya), teman kantornya, dan Bu RT. Demi menghormati keputusannya, gue memilih untuk keep everything for now, dan baru publish saat sudah sembuh.*
Pengalaman gue dengan Covid cukup kaya. Gak berhubungan langsung sih, tapi karena gue membawahi desk/kompartemen kesehatan, ya tiap hari gue harus mengedit, menulis, dan membaca artikel/tulisan seputar Covid.
Makanya, gue cukup hapal luar kepala soal protokol kesehatan, asal muasal virus SARS-Cov-2, gejala Covid, dll dsb.
Plus suami gue orang yang sangat parnoan. Jadi, selama pandemi berlangsung sejak Maret 2020, kami akrab banget sama hand sanitizer, masker, dan disinfektan.
Selain itu, kami gak pernah jalan-jalan, staycation, liburan, etc. Gue full kerja dari rumah. Terakhir ke kantor bulan Juli, itupun cuma 1x untuk ikut tes serologi wajib dari kantor.
Nadira full belajar dari rumah. Suami masih ke kantor beberapa kali seminggu dengan protokol super ketat dan begitu sampe rumah, wajib mandi, semprot aneka disinfektan, dll dst.
Kami cuma keluar rumah untuk belanja di supermarket, naik sepeda (hikmah pandemi: Nadira bisa intens belajar sepeda dan sukses, yay!), anter Nadira les tari seminggu sekali (lengkap dengan masker, face shield, jaga jarak, dst), dan ke rumah adik/ipar gue.
Continue reading →