Banyak Anak, Banyak Rejeki? Errr…

*picture’s taken from here *

Berapa banyak yang merasa terganggu dengan pertanyaan “Kapan mau tambah anak lagi?” atau “Kasian tuh anaknya udah gede, minta buru-buru dikasih Dede. Mumpung umur belum tua.”? Well, I do. And I know, some of my friends feel the same way too 🙂

Sebenarnya, urusan tambah anak is a private matter, ya nggak sih? Kasarnya, ngapain sih ngurusin masalah orang? Kalo gue tambah anak 10, atau nggak punya anak sama sekali, ya suka-suka gue dong.

Lagi pula, tambah anak itu nggak gampang lho. Ada yang masih trauma dengan pengalaman hamil/melahirkan. Kalo gue, hamil hepi-hepi aja. Melahirkan lumayan trauma, tapi nggak gimana-gimana banget. Nah yang melelahkan adalah, breastfeeding! Not exactly breastfeedingnya sih, tapi pengalaman memerah+nyimpen ASI buat Nadira itu lho (complete story-nya ada di sini ).

Kemudian, masalah yang perlu wajib dipikirin kalo mau tambah anak, dan ini baruu aja tadi gue ‘obrolin’ di twitter brg emak2 lain, adalah pendidikan itu mahal Jendral! Gak percaya? Coba baca tulisan ini. Sumpe deh, bikin merinding disko pas menghitung-hitung biaya pendidikan anak. Itu aja baru satu anak. Gimana kalo gue punya anak 3, 5 or even 10?

IMHO nih, kalo punya anak banyak, pendidikan emang jadi hal yang sangat krusial jika kondisi perekonomian kurang mendukung. Sederhananya begini. Kalo anak-anak lapar, asal ada makanan yang mengenyangkan, problem’s solved. Atau separah-parahnya, masih bisa minta makan sama tetangga, atau keluarga dekat. Masa sih nggak ada yang mau kasih, even cuma nasi sepiring+garam aja?

But when it comes to education, itu adalah urusan dan tanggung jawab orangtua masing-masing. Bisa aja sih anak sekolah cuma sampe lulus SMA, misalnya, tapi apa tega masa depannya nggak jelas?

Next is, masalah pengurusan anak. Terus terang, untuk saat ini, meski ingin banget jadi ibu rumah tangga, gue belum bisa. My family still need my contribution every month. Dan dengan berita penculikan, pembunuhan dan child being molested dimana-mana, bikin gue parno untuk ninggalin Nadira berdua aja dengan pembantu/baby sitter selama gue kerja. Alhasil, Nadira pun harus dititip di rumah mertua dan ortu gue secara bergantian dengan tujuan mereka bisa mengawasi Nadira dan pengasuhnya.

Nah kebayang kan kalo gue punya anak banyak. Sekarang aja 1 anak rasanya udah nggak enak hati nitipin melulu. Memang, mertua dan nyokap senang-senang aja karena toh itu cucu sendiri. Tapi kalo udah lebih dari seorang, mereka bisa jadi encok dan pusing karena anak-anak kan nggak bisa diem bok.

Terakhir, I’m afraid I can’t be just and fair to my children. I’m afraid I’ll love one child more than the other, although I won’t admit it *sigh*

Therefore, meski belum memutuskan, respon gue saat ini masih reluctant kalo ada yang tanya “Kapan mau kasih adik untuk Nadira?” karena gue mencoba berpikir logis berdasarkan poin-poin di atas. Untungnya sih, laki gue juga nggak yang pengeng-pengen banget untuk nambah anak karena, well, he’s the most logic person I know kayaknya. Banyak banget yang dia pikirin. Kalau pun pengen punya anak, paling-paling alasan dia adalah “Kasian Nadira kalo cuma sendiri, nanti dia nggak punya temen.” Dan alasan itu bisa gue bantah dgn bilang “Ah kan ada Langit, they can be sisters” hehehe..

Oh well, just my 2 cents 🙂