Curhat Kerjaan dan LinkedIn

Gue udah pernah cerita belum sih kalo gue tuh gak pede dan minderan abis? Eh kayaknya udah berkali-kali ya di blog ini mah, hahaha. Monmaap kalo bosen. Tapi kali ini kayaknya akan nulis seputar itu lagi deh πŸ˜€

Rasa minder dan gak pede ini biasanya langsung memuncak maksimal tiap gue abis buka situs LinkedIn. Soalnya, gue ngerasa sungguh remah-remah rengginang tiap abis lihat job title, achievement, dan resume orang-orang di situ.

Berikut adalah beberapa hal yang bikin gue minder di LinkedIn:

 

1.Pendidikan

Apalah gue yang cuma lulusan S-1 dari kampus lokal, bukan interlokal eh luar negeri maksudnya. Sementara di jagad LinkedIn rata-rata keren-keren pisan kuliah plus-plusnya itu. Bikin aku minder bingits kakaak.

Belum lagi pada rajin-rajin masukin course A, B, C yang pernah diikutin. Gue gak terlalu rajin ikutan course macem-macem sih. Plus kalo pun ikut, suka lupa ikutan yang mana aja hahaha… Payah bener emang deh.

2. Achievement

Ya lagi-lagi ini emang gue nya sih yang bego. Kalo menang lomba atau apapun jarang diinget, jadi lupa mulu. Lagian emang jarang ikut jadi ya jarang menang juga sih. Maklum, gue kan kurang ambisiyes ya. Sekarang, nyesel kan lo Ra! πŸ˜€

Padahal kalo di LinkedIn, segala rupa prestasi wajib ditulis dan dipamerin lho. Pernah juara lomba zaman kuliah atau SMA pun gpp kalo mau ditulis. Karena, LinkedIn itu adalah media sosial profesional. Banyak HRD maupun headhunter yang cari calon karyawan di situ. Jadi harus ditulis semua penghargaan, pencapaian, dan kesuksesan.

Bahkan, dulu pas gue bikin sharing di Instastory tentang online date, ada yang ngaku cari jodoh di LinkedIn segala. Caranya, dia cari target kira-kira bidang mana yang masa depannya cerah. Misalnya, oil and gas company. Dari situ dia search orang-orang yang kerja di perusahaan di bidang itu, dipelajari profilnya, dan di-DM deh ajak kenalan.

Ini real story lho, gue aja sampe amazed karena cara itu ternyata sukses untuk cari jodoh πŸ˜€

3. Job title.

Judul pekerjaan “engineer” atau “editor” itu mah garing cuy. Zaman sekarang, banyak yang mengukur kesuksesan dari panjangnya job title yang lo punya. Jadi, instead of “engineer”, minimal yang lo kudu tulis adalah “senior engineer” atau “highly-skilled engineer” ceunah.

Atau kayak yang ditulis di artikel ini nih, job title justru disarankan yang deskriptif dan flashy banget. Misalnya, instead of nulis “senior strategist” blablabla, tulisnya kayak gini:

  • I help trade associations raise mountains of money.
  • I help Fortune 500 CEOs and tech entrepreneurs navigate and influence Washington, D.C.
  • Whatever the subject, I’ll make your message UBER: Understood, Believed, Enjoyed, and Remembered.

Goks banget ya, seru! πŸ˜€

Sejak kapan sih panjangnya jabatan menentukan kesuksesan?

Pas sempet posting di Instastory, ada yang DM begini. Menurut Mbak A, kayaknya ini dimulai sejak tren startup hadir ya. Banyak perusahaan di bidang data dan teknologi yang relatif baru. Alhasil, banyak bidang pekerjaan yang namanya masih mengawang-awang karena emang baru ada atau merupakan perluasan dari pekerjaan yang udah ada sebelumnya.

Tapi ada juga sih kayak DM yang ini nih, aseli ngakak deh. Bisaan beneerr πŸ˜€

 

Anyway, kalo ngomongin job title, emang kompleks dan beda-beda sesuai bidang maupun jenis industrinya ya. Suami gue pernah cerita, beberapa perusahaan emang “royal” dalam memberikan job title mentereng kepada anak buahnya, terutama di bidang sales.

Contohnya, ya temennya suami gue, sebut aja si X. Dulu di perusahaan yang lama, si X ini sebenernya cuma menjabat sebagai Manager. Tapi pas ganti bos, dia dikasih kartu nama bertuliskan Assistant Vice President. Ya abis lah gue ceng-in bareng temen-temen. Soale, jabatan flashy gak setara dengan gaji πŸ˜€

Gue pun banyak terima DM yang mengiyakan hal ini. Mulai dari broker asuransi, sales, sampai BUMN, job title yang wow itu umum diberikan tergantung kebijakan perusahaannya. Tujuannya pun macem-macem.

Untuk bidang sales, rata-rata bertujuan agar klien merasa nyaman dengan yang bergelar misalkan, Business Development Manager, daripada cuma Sales Associate.

(untuk variasi nama dari sales, bisa dicek di sini ya)

Nah temen gue yang bergerak di bidang sales juga mengakui ada permainan kata-kata kayak gini.

“Cuma ya gitu Ra. Sering gue ketemu sesama sales yang job title-nya panjaang dan hebaaat banget. Pas di lapangan dan presentasi, baru deh ketauan kualitas dan jam terbangnya kayak gimana. Jadi jangan gampang ketipu lah,” katanya.

Ada juga yang cerita bahwa di kantornya, terdapat aturan yang menyebut, saat berkorespondensi dengan klien dari luar negeri, karyawan diminta untuk menaikkan jabatannya 1 level. Misalkan, asisten manajer jadi manajer. Tujuannya, untuk mem-boosting rasa pede saat harus nego/deal dengan perusahaan asing. Apalagi biasanya perusahaan asing suka kirim pegawai senior gitu.

Terus, beberapa temen yang kerja di bidang dengan struktur organisasi sederhana juga sempet urun pendapat. Beberapa temen yang kerja di pabrik dengan berbagai latar belakang bilang bahwa di kantornya, jenjang jabatan ya gitu-gitu doang.

“Cuma ada staf, supervisor, head, assistant manager, manager, director, presdir. Trus yang namanya manager itu udah pasti ngurusin lebih dari 5 orang supervisor, yang artinya, punya staf banyak banget, bisa puluhan. Gak ada yang namanya junior manager, senior manager, vice president, dll dst,” katanya.

Kondisi ini, juga diakui seorang temen lain yang juga kerja di pabrik. Kata dia, ini beda banget dengan pengalamannya saat kerja di perusahaan non-pabrik. Di situ jabatannya lebih macem-macem dan jenjangnya lebih kompleks.

“Di bidang sales aja semuanya disebut manager, padahal gak ada yang punya anak buah, wkwkwk,” katanya.

Oh ya, dari beberapa DM yang masuk, ada juga dari para HRD maupun headhunter. Mereka cerita, urusan job title sebagai pengukur kesuksesan kadang gak selalu linear dengan realita.

Ada yang cerita, terkesan dengan job title dan profil LinkedIn seorang kandidat yang flashy dan penuh prestasi. Cuma ya gitu, pas dipanggil interview, dan ditanya tentang semua achievement yang dituliskan, malah gagap, bahkan gak bisa jawab. Atau pas dites kerja, gak sesuai dengan pengalaman yang ditulis.

“Jadi kadang kalo nemu kandidat yang profil LinkedIn-nya keren banget, gue gak mau punya high expectation lah. Abis beberapa kali tau-tau malah zonk,” kata seorang Mbak HRD.

Ada juga yang kasih tips, meski seseorang punya jabatan mentereng, coba dilihat background/jenis perusahaan atau industri mana yang dia geluti. Tentu aja Chief Technology di perusahaan yang karyawannya 20 orang bakal beda dengan yang karyawannya 10 atau 100 kali lipatnya.

“Padahal leadership itu gak cukup karena pinter doang,” katanya.

Jadi inget omongan temen gue yang seumuran. Dia bilang gini:

“Yang butuh gelar dan job title keren di kartu nama atau LinkedIn itu kayaknya yang muda-muda deh, Ra. Untuk sekita gini mah mau job-nya cuma staf kek, yang penting gaji lancar. Emang cicilan KPR bisa dibayar dengan job title mentereng?”. Yha enel ugha!

Jujur, bacain DM-DM yang masuk tentang curhat kerjaan dan LinkedIn ini bikin minder gue agak berkurang πŸ˜€

Ternyata yang senasib sama gue koq banyak amat. Apa mungkin karena demografi temen-temen gue di Instagram itu rata-rata seumuran semua ya hahaha πŸ˜€

Udah ah segitu dulu ceritanya. Nantikan kisah-kisah keminderanku di bidang yang lain ya. Dadaaahh πŸ˜€

19 thoughts on “Curhat Kerjaan dan LinkedIn

  1. Jadi mau cerita 🀣. ini kejadiannya 2014. Jd dl ya posisiku cuma level SPV gitu, kebetulan mau pindah kantor, trus sama Divhead dibikinin CV baru gitu.. dia nanya, sini CV lo gw permak. Nah Cv nya di permak jd kayak yg Mbak ira tulis lah di Blog ini. Pas aku baca. Aku kaget. Aku aja gak ngerti isi CV nya dan asli gak pede banget. 🀣🀣🀣
    Ampe bilang, ih pak ganti dong pak, gw gak pede deh

    PROFILE
    A dynamic, customer-oriented Client Services Dept. Head offering focused leadership to drive achievements and profitability in highly competitive business.

    Trus aku baca ulang ulang. Wow canggih amat ya org yg bisa permak CV gini.. aku sarankan dia buka jasa permak CV aja dahh. Pasti pada ngantri org.

    Tp ya FYI emang gara2 Cv itu panggilang banyakkk banget. Aku yakin sih admin HRD yg seleksi admin lgsg berasa wow trus diloloskan aja. Ya walaupun kan tetep lulus kerja mah gmn interview dan hasil tes kompetensi 😁

    • Aku setuju sama pendapat teman kamu yang terakhir, Ra (Seumuran soalnya D): seumuran kita mah mau kerjanya cuma staf, yang penting gaji lancar untuk bayar cicilan 😊

      • Beneeer! Kemarin banyak tuh yg cerita bahwa job title mereka cuma staf atau apa lah gitu yg terkesan biasa banget. Padahal dalam nominal gaji, setara big boss di kantor2 lain. Jadi males deh untuk komplain, yg penting cuannya kenceng lah πŸ˜€

  2. Iyaaaa bener. Title kerjaan gak selalu sama dengan kemampuan. Dulu pernah kerja brg video editor yg kerjanya bagus bgt, cepet, gak drama, tapi pas mau apply kerjaan di Stasiun TV gak diterima krn bukan S1 ( dia cmn lulusan SMA). Waaaah gw beneran sedih bgt utk dia. Padahal kerjaaan dia lbh butuh skill dibanding ijasah.

    Makanya gw suka bingung sama org yg sombong bgt sama title2, tp pas kerja melongo. Hahhaha

    • Jadi inget zaman duluu banget, desainer grafis kantor yang lulusan SMK suka pada ngeluh dengan desainer grafis yang lulusan universitas ternama. Soale, yang lulusan S-1 itu gak bisa ngapa2in padahal posisinya lebih tinggi gara2 titel S-1 itu. Sementara yang lulusan SMK ini andal banget eh gajinya lebih kecil karena cuma setara SMA.

      Kalo menurutku, HRD harus pinter2 sih nyeleksi kandidat buat bidang-bidang tertentu yang lebih butuh skill ketimbang gelar ya.

  3. Gapapa mbak, title hanya senior.
    Yang penting punya beberapa junior (bawahan/subordinates/ada yang bantuin).

    Daripada title manager tapi semua dikerjain sendiri… *dikeplak*

  4. Waduh… yg no. 2 itu… semoga engga jadi tren ya cari jodoh via linkedin πŸ˜…… aku hapus akun linkedin salah satunya karena lumayan banyak orang yg ngespam atau malah minta kenalan, no. hape pribadi (bukan buat tujuan kerja), etc etc. Maksudku, ini adl website profesional dan perilaku spt itu sangat mengganggu dan tdk profesional. It’s not tinder, guys πŸ˜…

    • Iyaa aku pun juga ngerasa gitu sih Mbak. Agak awkward kalo pake LinkedIn untuk hal-hal di luar jalur profesional. Makanya aku gak selalu approve friend request kalo kira-kira gak kenal atau gak nyambung. Males banget dapet message aneh2 soale.

    • Iya bener banget Man. Katanya sih demi kenyamanan klien. Kan berasa orang penting gitu ditangani seseorang yang berprofesi Business Manager ketimbang Salesperson. Padahal artinya sama aja πŸ˜€

  5. Huaaa kak, ini aku alamin juga kalau ngeliat Linkedin temen-temen satu almamater kuliah sama aku (satu almamater juga sama Kak Ira hehe) rasanya kok, woww they are sooooo truly amazing! Kebanyakan kerja di MNC dengan tittle yang super duper bikin envy hehe… sedangkan aku, cuman PNS di salah satu instansi pusat dengan tittle yang serasa jadul banget kayak kepala sub bidang kepala bagian blah blah… iri sama tittle semacam supervisor, team leader, assistent manager hehe padahal so far deskripsi kerjaan dan beban kerjanya sama huehehe…
    setelah baca blog post ini rasanya rasa envy akan sedikit berkurang, ternyata pinter-pinternya kita saja untuk meramu job-desc dan tittle kita πŸ˜€

  6. Pas banget, aku sbg fresh graduate juga sering minder kalo liat profil linkedin tmn2 atau kating kampus, ngerasa bego sendiri

  7. Pingback: Midlife Crisis | The Sun is Getting High, We're Moving on

Leave a comment