Sekolah dan Fanatisme

Waktu SD dulu, gue disekolahin sama nyokap di sebuah SD Islam di daerah Jakarta Timur. Alasan nyokap, supaya ilmu agama gue bagus, rajin solat dan mengaji. Wajar sih, karena banyak orangtua (termasuk gue saat ini pun), menganggap agama sebagai pendidikan terpenting untuk anak sejak dini.

Tapi ada satu hal yang gak diperhitungkan nyokap saat memilih SD tersebut, yaitu soal fanatisme dan akhlak. Nyokap cerita, saat masih kelas 1 SD, tiap gue nonton acara TV kayak Kamera Ria, Aneka Ria Safari, etc (duileh pamer umur banget, yes?), pertanyaan gue selalu begini: “Ma, artis itu agamanya apa?”.

Saat nyokap bilang, misalnya agama si artis A itu Kristen, gue selalu komen “Duh, sayang ya, cantik-cantik tapi bukan Islam.” Aseli bok, ini diceritainnya aja malu banget. Secara gue gak inget pernah ngomong itu. I sounded like a bigot, didn’t I? *toyor kepala sendiri 😦 *

Nyokap pun berusaha meluruskan persepsi gue itu. Sebab, di keluarga kami dulu, gak ada yang fanatik-fanatik amat. Apalagi, di keluarga bokap, gue punya tante dan om yang non muslim. Jadi, bokap nyokap pun mencontohkan bahwa fanatisme agama tidak diterima di keluarga kami.

Untung, gue bersekolah di SD itu cuma sampe kelas 4. Karena pindah rumah, gue pindah sekolah ke sebuah SD negeri yang isinya lebih beragam, baik dari segi ekonomi, maupun SARA. Jadi, proses cuci otak fanatisme itu pun bisa selesai. Dan gue bisa jadi seperti sekarang ini.

Maju beberapa tahun ke depan, gue lagi baca-baca forum femaledaily.com, thread sekolah atau apa gitu. Nah gue inget banget ada satu temen di forum yang curhat tentang sekolah anaknya. Si anak, sebut aja Doni, disekolahkan di sebuah SD Islam dekat rumahnya. Suatu hari, Doni cerita ke ibunya bahwa di sekolah ada acara nonton bareng. Pas diselidiki, rupanya film yang diputar adalah video pembantaian muslim di negara lain.

Si temen inipun marah. Menurut dia, buat apa sih anak-anak SD yang otaknya masih bersih itu dikasih film ginian? Mengajari anak tentang solidaritas umat Muslim sedunia, boleh. Tapi apa perlu dikasih nonton film yang isinya darah dan kekerasan untuk menumbuhkan kebencian?

Apalagi, dia sendiri nggak pernah mengizinkan anak-anaknya nonton film berisi unsur violence. Eehhh sekolah malah bikin acara nobar. Mau cuci otak supaya anak-anak benci non muslim sejak kecil? Akhirnya, dia memutuskan untuk memindahkan Doni ke sekolah lain yang lebih toleran.

Terus terang, dua pengalaman tadi jadi salah satu bahan pertimbangan gue saat memilih sekolah untuk Nadira. Gue masih berkeinginan untuk memasukkan Nadira ke SD swasta Islam sebelum SMP nanti masuk sekolah negeri. Alasannya pun sama kayak waktu nyokap masukin gue ke SD Islam dulu.

Tapi PR terbesar adalah, dimana cari sekolah Islam yang tidak mengajari fanatisme berlebih pada anak muridnya? Gue kan mau anak gue jadi Muslim yang toleran dan mampu berpikir kritis, gak hanya mengiyakan apa kata ustaz. Kalo ilmu agamanya lebih bagus dari gue dan suami, Alhamdulillah. Tapi yang penting, jangan terjebak fanatisme membabibuta yang dilakukan atas nama agama.

Kekhawatiran gue itu bukan tanpa alasan. Gak usah jauh-jauh lah, liat aja musim pilpres kayak sekarang deh. Gue amat menghormati perbedaan pilihan. Ada temen yang milih capres no 1, silakan. Ada temen yang milih capres no 2, monggo. Semua mah sah-sah aja ya, terserah tiap orang. Prinsip gue, capresmu untukmu, capresku untukku.

Yang bikin gue sebel adalah mereka yang memilih dengan dalih agama  membabibuta. Ada pula yang sampai mengkafir-kafirkan sesama Muslim, atau bikin fitnah-fitnah keji terhadap salah satu capres.

Eh, giliran diajak berdiskusi dengan logika, mereka ngeles, dan mengajukan alasan-alasan khas orang fanatik berlebihan. Nggak sedikit yang justru menyerang dengan bilang “lo orang Islam bukan? Masa orang Islam pilih yang capres kafir?” Bahkan seperti yang diceritain Ligwina Hananto, dia sampe disuruh buka jilbab karena memilih capres yang “tidak sesuai dengan umat”. (beberapa temen gue juga ada yang diginiin, sampe dicaci maki segala, zzz…)

Tipe mereka ini kalo dikasitau berita/info yang didapet itu adalah hoax atau fitnah, malah balik bilang “fitnah itu halal kalo digunakan untuk musuh Islam.” Trus kalo dikasih bukti-bukti bahwa fitnah itu bohong, mereka nggak mau dengar, dan malah create another fake news. Padahal jelas-jelas itu para capres dan cawapres sama-sama Muslim. Gimana kalo ada capres/cawapres yang non muslim beneran ya?  😦

fanaticism2

Trus kemarin gue sempet baca status seseorang di socmed, sebut aja namanya Mawar. Dia cerita tentang suasana di SD anaknya di kawasan Bogor. Anaknya bersekolah di sebuah SD Islam. Dari kepsek, guru hingga pegawai kebersihan, saat ini sudah terang-terangan mendukung salah satu capres. Bahkan anak-anak murid diajari menyanyi lagu yang mendukung capres tersebut. Mereka juga diajari bahwa capres lawan adalah kafir.

Suatu hari guru di sekolah bertanya ke semua murid tentang siapa capres yang bakal dipilih ortu mereka. Namanya anak, semua jawab jujur, termasuk anak Mawar. Dia bilang kalo ortunya pilih capres lawan idola guru-guru. Begitu tersebar kalo Mawar dan suaminya pilih capres lawan, si anak pun jadi korban bully di sekolah. Dia dikata-katai kafir, dll dsb, oleh teman-temannya. Wow 😦

Sungguh, hati gue sedih banget liat ulah beberapa orang yang kayak gitu. Islam yang gue anut bukanlah Islam yang destruktif dan suka memfitnah seperti ini. Islam yang gue ketahui adalah Islam yang ramah, penuh kehangatan dan melindungi kaum minoritas. Tapi melihat kenyataan saat ini, koq jadi merinding sendiri. Sampe nangis lho akik mikirinnya 😥

Dan gue jadi mikir serta melihat pendidikan anak gue. Maukah gue menyerahkan urusan pendidikan anak ke orang yang berpikiran sempit kayak gitu?

Emang, pola pikir anak tidak hanya ditentukan oleh apa yang dipelajari di sekolah karena ortu dan lingkungan juga memiliki andil besar. Tapi tetep aja, males amat masukin anak di sekolah yang gurunya kayak di SD anaknya Mawar di atas. Sama sesama muslim aja bisa mencaci dan menindas jika berbeda pandangan. Gimana sama yang bener-bener beragama lain?

Lagian, gue sebenernya lebih suka kalo pendidikan di sekolah itu bukan melulu tentang menghapal Al Quran, solat, wudhu, dll. Gue lebih pengen sekolah yang mengajarkan nilai-nilai Islamnya ke perihal budi pekerti dan akhlak. Makanya, banyak kan sekolah Islam yang menelurkan hafidz Quran etc, tapi WC-nya kotor dan jorok. Kayak SD gue zaman dulu itu. Padahal kita juga diajari bahwasanya kebersihan itu sebagian daripada iman lho. Guru-gurunya pada nggak ngajarin apa ya?

Trus, kalo anak sejak kecil diajarin untuk benci agama lain, apa kelian pengen anak-anaknya pas gede jadi anggota FPI? Emang pada lupa apa ya kalo kita tinggal di Indonesia? Negara kita ini basisnya Pancasila, man. Bukan negara Islam. And just in case you forget, kita bisa kayak sekarang ini berkat darah, air mata dan keringat para pejuang dari Sabang sampe Merauke yang agama dan rasnya macem-macem itu lho.

Jadinya, saat ini, gue kembali lagi menyortir daftar SD kelak untuk Nadira. Ada sih yang sesuai dengan keinginan, yakni lebih mengutamakan akhlak dan budi pekerti ketimbang kurikulum. Tapi kendala utamanya ada di lokasi. Jauh beeng bok.

Alternatif lain, ya mungkin Nadira disekolahkan di SD umum. Lalu untuk pelajaran agama, gue bakal panggil guru untuk kami berdua. Jadi, guenya belajar ilmu agama lebih dalam, Nadira belajar ilmu agama dasar. Tapi nggak tau juga deh, masih menimbang-nimbang nih. Doakan supaya kami dapet yang terbaik ya temen-temen 🙂

50 thoughts on “Sekolah dan Fanatisme

  1. mbaaak…. ini isi kepalaku juga soal sekolah Islam
    sediiih banget waktu anak sodara memusuhi sodara kami yang non muslim karena salah satu gurunya mengajarkan sesuatu hal dan bagai mana orangtuanya harus meluruskan pola pikir anaknya.
    Itu juga pertimbangan aku dan suami waktu milih sekolah, maunya cari sekolah yang kualitasnya bagus dan muridnya beragam tapi pendidikan agamanya juga jalan, sayangnya sekolahnya jauh dari lokasi rumah kami.
    Akhirnya kami milih sekolah islam tapi kita konsultasi serius sama kepala sekolahnya soal masalah toleransi beragama. karena kami gak pingin anak kami jadi fanatik buta terhadap agama. Alhamdulillah pemikiran kepala sekolahnya dan apa yang diajarkan sejalan dengan yag kami mau,

    • Mbak Ikha, makasih ya masukannya. Kemarin pas aku mulai datengin SD untuk survei sekolah Nadira, aku jadi bertanya begini: “toleransi beragama di sekolah ini gimana? Apakah diajarkan? Apakah murid-murid diajari agama secara fanatik dan menilai non muslim sebagai umat pendosa?”. So far sih sekolah2 yang aku datangi, meski sekolah Islam, tapi mengajarkan toleransi beragama. Jadi Insya Allah ada lah sekolah Islam yang toleran di deket-deket rumah 🙂

      • Hi mbak.. ini bagus banget penjelasannya. Kebetulan aku juga lg cari sekolah untuk PG berbasis islamic dan billingual tapi gak fanatik. boleh share gak mbak pengalaman setelah banyak survey dan antara jisc dan putik lebih berbobot yg mana? thanks sebelumnya mbak irra 😊

      • Ini untuk TK ya Mbak? Aku sih lebih suka Putik karena menekankan pada bahasa Indonesia dan sifatnya umum, bukan agama tertentu. Plus lokasinya juga lumayan lapang. Kalo TK JISC menurut temen2ku lokasinya sempit. Dia juga fokus ke agama Islam dan bahasanya mixed Inggris dan Indonesia. Tapi anakku kemarin sih aku msukin ke Bunga Amalia karena dekat rumah, plus aku liat muatan agamanya gak terlalu berat, tapi cukup untuk bekal sehari-hari. HTH ya Mbak 🙂

  2. Raaaa… suka banget sama tulisan ini. Netral, bagus, ciamik lah pokoknya. Nyambung banget sama Pemilu sekarang. Gue jg sedih Ra, pemilu kali ini kayaknya fanatismenya makin parah. Apalagi di socmed. Pala gue pusing. Jadi pas baca tulisanlu yg ini, walaupun masih nyambung sama tema, bacanya sejuk. Gue jg pengen nulis soal pemilu, tapi ga tau mau nulis apa lantaran semua orang lg ribut bahas yang sama.

    Btw, gue ada beberapa temen muslim. Sholehah banget. Puasanya pada luar biasa taat. Cantik2 pula. Tp mereka masuk di sekolah gue yg sekolah Katolik. Ortu mereka jilbaban semua, bahkan ada yg orang Padang. Mereka sangat2 enjoy dan justru menambah kekuatan iman saat puasa ngeliatin temen2nya pd makan minum. Kita jg banyak belajar dr mereka. Intinya sih, toleransilah yg utama.

    • Mbak Leony, gue juga dulu sekolah di sekolah Katolik di Bogor dari SMP-SMA 🙂 dan kami yang muslim juga banyak (bahkan ortunya ada yang sudah Haji). Gue malah diingatkan teman-teman gue yang non muslim supaya puasanya jangan bolong (malah mereka jadi polisi gue hihihihi), di bulan Ramadhan disediakan ruangan untuk sholat, dikasih tahu kalau ternyata makanannya gak halal. Sering kok gue sama ortu dipertanyakan kenapa harus sekolah di sekolah non muslim, tapi selama sekolah kita belajar saling hormat menghormati.

    • Iya Le, beberapa temen gue juga ada yang dari keluarga Islam taat tapi sekolah di sekolah non muslim. Bahkan, alm kakek dan nenek gue dulu lebih memilih sekolah Kristen/Katolik untuk nyokap gue dan sodara2nya. Pulang sekolah, baru deh disuruh ngaji or ikut madrasah.

      Gue sendiri skrg kerja di kantor yang mayoritas non muslim. Dan tiap bulan puasa, yang repot nyiapin buka puasa, atau protes kalo gue gak puasa (pdhl lagi mens), ya temen-temen gue itu. Mereka juga selalu minta maaf kalo makan/minum di depan gue yg lagi puasa. Pdhl mah gue-nya santai aja 🙂

  3. Gue pun dulu punya ketakutan dengan menyekolahkan anak-anak ke sekolah yang berbasis agama Islam. Makanya gue mensyaratkan ke suami, kalau anak-anak dimasukkin ke sekolah Islam, kita memilih rumah harus di lingkungan yg heterogen, supaya anak-anak bisa bergaul dengan orang-orang yang berbeda agama dan ras. Gue merasa beruntung Ra, pernah sekolah di luar negeri sama di sekolah Katolik, dimana gue merasakan menjadi minoritas itu adakalanya gak nyaman namun pandangan gue lebih terbuka. Memang sie gue tidak mendapatkan perlakuan ajaib, tapi suatu saat Bapak gue mau sholat saja, orang asing itu ngomong begini: jadi kamu muslim ya? kok kamu baik sie, gak seperti teroris. Gak enak kan dibenci karena agama atau ras tertentu ya gak? Btw ibu punya guru ngaji yg sudah sepuh dan sangat disegani. Ketika gue akan masuk sekolah Katolik, ibu gue sengaja mengundang beliau, dan beliau mengajarkan cerita Nabi Isa dari pandangan agama Islam, tanpa menjelek2xan pandangan agama lain dan beliau malah mendorong gue agar gue belajar yang tekun sehingga bisa mengambil ilmu terbaik dari sekolah itu. Tapi guru ngaji gue pas SMA malah selalu menjelek-jelekkan sekolah gue, sampai akhirnya gue minta berhenti sama Ibu gue. Kalau nanti memilih guru ngaji ada baiknya didampingi juga Ra.

    • Itu guru ngaji nyokaplo koq oke banget ya, Yas. Gue pengen deh punya guru ngaji yang kayak gitu krn gak sempit pikirannya. Sekarang cari guru ngaji yang oke dan sesuai dengan Islam rahmatan lil alamin juga PR banget ya. Dulu waktu zaman SMP, gue pernah punya guru ngaji yang fanatik banget. Tapi berhubung gue orangnya rada susah di-brain wash, jadi cuek aja tuh. Ajaran2nya sempet masuk ke gue tapi efeknya cuma sebentar hehehe..

  4. Nice, sedih ya islam jadi sempit gitu, merasa diri plg islami, gampang mengkafirkan muslim yg lain phl nabi Muhammad ngga spt itu. Btw gw sekolah dr sd-sma di tarakanita, gue dan bbrp temen muslim toh skrg belajar jd muslI’m yg baik dgn berhijab

    • Bener Mbak. Aku aja sedih banget lho, apalagi sama orang yang gampang melabeli sesama muslim sebagai kafir. Are you playing God, dude? Bisa bener menakar keimanan orang lain dari kacamata pribadi 😦

  5. Alhamdulillah saya punya pengalaman berbeda. Anak2 saya dua-duanya sekolah di SD Islam kls 5 dan 6 di Jakarta Selatan. Banyak anak2 tetangga yg seumur di lingkungan perumahan kami juga bersekolah di sekolah2 berbasis Islam (tentunya berbeda sekolah dgn sekolah anak2 saya). Tetapi dihubungkan dengan isu pemilu capres 2014 yg sangat tajam ini, mereka sangat aktif dgn segala macam berita tentang politik dewasa ini. Kata2 toleransi, sederhana, merakyat, jujur, tegas, mandiri dan bahkan pluralis dan tidak ada isu HAM seolah seperti kata2 yg mereka sangat pahami, walaupun sejauh pengertian anak2 saja. Mereka bisa berdiskusi seolah seperti anak dewasa hehehe….(ini mungkin karena pengaruh baik dari internet dan teknologi mobile juga ya)…
    Sepanjang menyangkut Pemilu, saya tidak memungkiri bahwa mungkin terjadi penggiringan opini anak2 di sekolah islam tertentu untuk memilih satu konstentan Capres. Tapi, pertama anak2 itu belum usia memilih jadi tidak terlalu berpengaruh. Kedua, soal keimanan dan toleransi banyak kok sekolah Islam yg sudah dari awal pendidikan menekankan penanaman nilai2 bahwa “Dimulaikan Allah SWT seluruh keturunan anak Adam”, “hubungan Manusia dengan Pencipta dan hubungan manusia dgn sesamanya” “Islam adalah rahmatan fil Alamin”, dan bahwa “manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi sesamanya” dll, dll….
    Dengan pengalaman anak2 saya ini, saya hanya ingin mengingatkan bahwa ternyata kita tidak bisa menggeneralisasikan satu/beberapa pengalaman menjadi stereotype seolah semua sekolah berbasis Islam mengajarkan kekakuan dan fanatisme sempit dalam hubungan sosial. Peran Orang tua, lingkungan rumah, lingkungan sekolah, para pendidik, dan media memang berperan besar dalam penanaman nilai2 pada usia dini dan remaja.
    Salam……

    • Makasih komennya Mbak. Sebagai ortu yang baru mau cari sekolah, aku jadi adem baca komen Mbak deh hehehe..

      Setuju banget, peran ortu dan lingkungan memang berperan besar dlm penanaman nilai2 pd usia dini dan remaja 🙂

  6. Gw waktu sd sekolah di negri jd udah tau lah orang agamanya beda2. Pas mulai bandel SMP-SMA br dimasukin sekolah Islam. Bandel sih tetep tp agama lumayan masuk lah 😉

    Jangan takut Nadira jd fanatik berlebihan Mba. Karena menurut gw klo pemahaman kita sudah cukup matang soal agama, justru kita mkn terhindar dr fanatisme. Krn biasanya yg fanatik berlebihan itu justru krn dia blm paham2 bgt sm agamanya, makanya gampang dimasukin doktrin2 gak jelas tp gak di crosscheck dulu.

    • “menurut gw klo pemahaman kita sudah cukup matang soal agama, justru kita mkn terhindar dr fanatisme. Krn biasanya yg fanatik berlebihan itu justru krn dia blm paham2 bgt sm agamanya, makanya gampang dimasukin doktrin2 gak jelas tp gak di crosscheck dulu.”

      Setuju Nam! Tapi emang untuk sekolah, gue tetep cari yang netral aja deh supaya anak gue gak kena cuci otak 🙂

  7. Serem ya kalo emang sekolah nya ngajarin fanatisme kayak begitu. Gw sendiri dulu pa sd sekolah yg menganut 5 agama. Jd kalo pas ppelajaran agama kita semua pindah kelas sesuai agama masing2. Setelah itu baru gabung lagi. Gw bilang lebih bagus sekolah yg begini dibanding yg menganut 1 agama tertentu aja.

    Pas smp gw pindah ke sekolah katolik dan gak berasa kalo keagamaan gw bertambah lbh bagus. Setelah kuliah baru gw pergi belajar buat dibaptis. Gw sih merasamerasa walaupun pendidikan agama gw pas kecil biasa2 aja, tp gak masalah dan gak bikingua gedenya jd gak beragama kok.

    Jd menurut gw gak masalah kalo di sekolah pendidikan agamanya biasa aja asal di rumah dikasih tambahan. Dan yg paling penting kalo buat anak kecil itu adalah teladan ortu nya…

  8. Ya ampuun miris sekaligus kesel baca postingan mbak ira ini.. Saya juga kesel mbak sama orang2 yg ngakunya agamis itu, baca Al-Qur’an sehari satu jus..tapi tiap hari kerjaannya cuma nyebar fitnah dan berita jelek capres. -,-

    Saya pas SD juga sekolah di sekolah islam. Alhamdulillah SD saya walopun islam, tapi gak mengajarkan tentang fanatisme. Saya diajarkan tentang nilai2 islam, budi pekerti dalam islam termasuk tentang menghormati dan menghargai agama lain. Saya diajarkan untuk beribadah dengan cara yg baik bukan dengan cara membenci orang lain siapapun itu. Kalo pendidikan SD jaman sekarang udah kayak gitu astagfirullah… Islam tidak pernah mengajarkan untuk membenci.. kasian 😦

    • Sampe sekarang juga masih lhooo.. Bahkan kemarin gue baca temen nge-share postingan FB seorang (so-called) ustaz yang nyebarin kebencian pada umat agama lain. Bacanya bikin ngurut dada banget. Gue sebagai umat muslim jadi miris bacanya. Plus malu juga sih 😦

    • Iya Ta, pendidikan politik ke anak itu bagus koq, sah-sah aja. Asal diberikannya secara proporsional, bukan menjelek-jelekkan yang lain ya. Tapi kalo dicampur sama agama, kelar semua deh 😦

  9. iya mbak..sampai akhirnya saya memutuskan uninstall Path sementara karena gerah baca beberapa orang yang membabi buta membela capresnya. Sampai kaget, ternyata tahun 2014, setelah kejadian 1998, SARA gak punah. Sedih, apalagi kalau yang SARA itu pendidikannya tinggi dan ekonomi menengah atas. Lega rasanya liat mbak Ligwina kemarin di twitter nunjukin, bukan karena agama yang dianut yang bikin orang jadi pembenci. Temen2saya banyak yang berjilbab dan sahabat2 mereka banyak yang berasal dari agama maupun ras yang berbeda. Jadi memang berasal dari manusianya, bukan agamanya yang bikin orang jadi jahat.

    • Wah serius di Path juga rame ya Mbak soal copras-capres? Gue gak main Path sih, tapi kata temen2 di Path malah lumayan sepi isu politik dibanding FB dan twitter.

      “Temen2saya banyak yang berjilbab dan sahabat2 mereka banyak yang berasal dari agama maupun ras yang berbeda. Jadi memang berasal dari manusianya, bukan agamanya yang bikin orang jadi jahat.”

      Setuju!

  10. Amin mbak, semoga dapet yang terbaik buat Nadira. Aku sendiri dulu TK-SMA di sekolah swasta Islam (karena males antri NEM untuk masuk negeri. Hehehe) dan pas SMA sempet jadi korban bully guru2 karena aku mau masuk kuliah di universitas Katolik. Padahal yang nyuruh si mamah karena jurusan yg aku pengen ada di univ tsb dan bagus. Si mamahpun pakai jilbab dan muslimah yang taat. Sempet sebel banget sama guru2 itu dan walaupun akhirnya aku gak jadi di univ itu karena diterima di negeri, sebelnya sampai sekarang. Kok bisa orang2 yang ngajarin untuk taat beragama dan toleran malah nge-bully muridnya hanya karena mau sekolah. Ditudur murtad lah, kafir lah. Buset ya guru2 di negara ini.. :’)

    • Sekolahnya dimana ya mba kira kira buat sd di daerah bsd yg kaya anak mba ini ? Atau ada recommen sekolahan lain di daerah bsd buat anak saya mau masuk sd tp yg netral soal pelajaran agama nya ? Tolong kasih masukan ya mba, soalnya saya baru pindah dari lampung..

  11. Pingback: Saat Topengnya Terbuka | The Sun is Getting High, We're Moving on

  12. postingnya nice banget mbak, saya suka bacanya ,walau saya yang non muslim tapi buat saya senang, menyadarkan saya bahwa masih banyak saudara-saudara yang muslim mau bertoleransi dan saling menghargai, makasih postingnya ,

  13. Anak gw juga sekolah di sekolah berbasis Islam Ra. Awalnya gw ga ngerasa ada yang aneh ama pendidikannya sampe suatu kali waktu kita lagi sepedaan keliling komplek, tiba2 anak gw nyeletuk… Iiih itu rumah orang kristen, ada salibnya. Jleb rasanya…..
    Gw langsung tegur anak gw…. Gw bilang…. Uni ga boleh gitu…. Ga boleh menilai orang hanya karena agamanya, tetapi dari perilakunya. Kak Inez kan kristen juga (temen baik dia di rumah) tapi baik kan?. Gw kasih beberapa contoh lagi temennya yang beda agama tapi bertemen baik. Akhirnya dia mau ngerti… (Semoga).
    Terus gw kasih masukan ke gurunya deh…. Kasih contoh supaya toleransi beragama ga cuma teori…

    • Nah yang gitu-gitu Vir, yang gue takuti. Soale kan gue sendiri pernah ngalamin waktu kecil dulu hehehe.. Tapi bagus lho, lo-nya mau turun tangan dan ngomong sendiri ke gurunya. Emang harus digituin kali ya supaya sekolah bener-bener ngajarin toleransi.

  14. Nyari sekolah buat anak emang Pe’er banget Ra. Aseli! Gw sendiri sih bersyukur dapet sekolah yang bernafas islami tapi ga terlalu fanatik ngislamnya. Contoh paling awamnya adalah anak2 perempuan ga diwajibkan pakai jilbab dan ga ada pelajaran bahasa arab! Pelajaran wajibnya di SD cuma sejarah & hadits nabi (secara mendalam), doa pendek sehari-hari sama iqro hehe.
    Dimana di BSD bertebaran bener sekolah2 yang bagus2 – ternama tapi gw mentoknya ga sreg di wajib jilbab & bahasa arab itu. Bukan juga karena gw belom berjilbab terus gw takut “kalah” atau malu ama anak gw, cuma gw mau Shaina nanti kalaupun dia milih berjilbab bukan karena emang dia merasa diwajibkan yang mana bisa menimbulkan fanatisme tadi.

    • Ember Cha. Di deket rumah gue, semua SD Islamnya mewajibkan siswinya pake jilbab tiap hari. Tambah pening kan gueee…

      Terus terang, gue dan suami agak keberatan dengan ini. Alasannya sama kayaklo. Gue cuma pengen kalo kelak Nadira berjilbab ya itu karena dia mau. Bukan karena disuruh sekolahnya. Wong ibu bapaknya juga gak nyuruh koq 🙂

  15. Pingback: Sekolah berbasis agama,masih perlu? | Kalipengging

  16. Pingback: Oversensitive | The Sun is Getting High, We're Moving on

  17. Hallo Ira! Salam kenal dari Malaysia! Baru beberapa hari yg lalu saya ketemu blog ini. Postingan yg sungguh menarik. Saya setuju dengan postingan diatas👆 emang betul ya, harus hati hati dalam memilih sekolah utk anak. Meskipun sekolahnya itu sekolah berbasis agama harus dilihat lagi apakah sekolah itu mengajarkan /melalukan “program cuci otak” supaya anak jadi fanatik membabi buta. Kalo bisa saya menilai – maaf, saya tahu penilaian saya salah nih… Kondisi yg ada saat ini: ribut antar agama, fanatisme berlebihan adalah buah dari bibit bibit yg sukses dan ditanam dimasa lalu dengan sistem pendidikan yang keliru. Sayang banget ya, mereka yg label nya paham/tahu tentang ajaran agama tapi karena fanatisme yg berlebihan malah jadi merusak makna yg baik tentang agama itu sendiri. Cuma karena fanatisme, yg sebenarnya tidak patut untuk dibesar besarkan apalagi diturunkan/diajarkan kepada anak anak.. 😊

    • Halo Mbak Ririn, kita kemarin udah bersua di Instagram ya 🙂

      Setuju Mbak. Sesuatu yang berlebihan itu emang bahaya, apalagi ini fanatisme pula. Aku sih tetep maunya Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika bukan Indonesia yang fanatic overdose trus jadi terpecah belah 😦

  18. Halo mbak Ira
    Aku mau tanya dong pendapat mbak, tentang menanamkan kebaikan apalagi kewajiban melalui pembiasaan (mungkin juga paksaan di awal)? Termasuk soal kewajiban berjilbab.

Leave a comment