Sudahkah Anda Berbahasa Indonesia Hari Ini?

*buset judulnya serius amat yak 😀 *

Di sanggar tempat Nadira les nari, banyak peserta yang udah duduk di bangku kelas 6. Nah, waktu menjelang Ujian Nasional kemarin, gue sering tuh dengerin obrolan para ibu seputar pelajaran-pelajaran yang masuk ke UN.

Dulu di zaman gue, yang jadi momok adalah matematika. Nah sekarang, rupanya ganti ke Bahasa Indonesia. Menurut temen gue, Mbak X, Bahasa Indonesia itu memusingkan. Dia pun setres kalo harus ngajarin anaknya belajar.

“Soalnya banyak banget yang mirip-mirip Mbak. Jadi kayak jebakan gitu. Dan kalo latihan di rumah, saya bilang jawabannya A. Ternyata pas di sekolah, jawabannya menurut guru itu B. Pusing saya. Mendingan matematika deh, hasilnya jelas dan terukur,” kata Mbak X.

Dengernya, gue jadi berpikir dan menelaah. Sepintas, bahasa Indonesia emang gampang ya kayak yang pernah gue tulis dulu. Grammar-nya gak seribet Inggris yang ada beberapa level. Bahasa Indonesia juga gak punya pembagian gender kayak bahasa Prancis atau bahasa Italia. Aksara yang digunakan pun aksara Latin, nggak kayak bahasa Jepang, Cina, Arab atau Rusia yang punya aksara sendiri. Begitu juga dengan lafal. Apa yang ditulis, 90% sama dengan yang dibaca, gak kayak bahasa Prancis yang tulisannya “oi”, dibacanya “oa”.

Continue reading

Bahasa Asing VS Bahasa Indonesia

Waktu kuliah dulu, gue dan temen-temen wajib ambil minimal 4 SKS bahasa asing di luar jurusan kita. Karena kuliah Sastra Inggris, gue nggak boleh ambil bahasa Belanda. Sebab, bahasa Belanda dan bahasa Inggris itu satu rumpun. Jadi gue cuma boleh ambil bahasa rumpun Roman (Prancis, Italia, Spanyol, Portugis, Romania), bahasa Asia Timur (Korea dan Jepang), Arab, dll.

Waktu itu, gue ambil Bahasa Latin 2 SKS dan bahasa Italia 2 SKS. Alasannya? Bahasa Latin karena dosennya murah hati kalo kasih nilai 😛 Sementara bahasa Italia karena kayaknya keren banget deh bisa parlo Italiano, ceunah.

*Plus iming-iming imajinasi ke cafe, kenalan sama cowok Italia ganteng dan bisa ngobrol-ngobrol. Yang mana nggak pernah terjadi sih sampe sekarang. Palingan cuma pernah ngobrol sama Neri Per Caso doang di jumpa pers, dan mentok sampe kalimat ketiga. Trus lanjut pake bahasa Indonesia dan pasrah pada translator karena mereka gak bisa bahasa Inggris, hahahaha…*

Gue males ambil bahasa Korea, Jepang, Arab dan Rusia karena nggak mau belajar aksara baru. Yah namanya waktu itu udah kuliah sambil kerja ya. Jadi rasanya otak rada nggak mampu kalo kudu belajar ekstra *alasan padahal males 😛 * Sekarang mah nyeselnya luar biasa. Mana les bahasa asing mihil bingit, hiks 😦

Continue reading

Bahasaku, Bahasamu Jugakah?

Setiap ke daerah-daerah di Indonesia, gue selalu menyempatkan diri ngobrol sama penduduk lokal. Bisa sama panitia, staf hotel, pelayan resto, supir angkot, etc. Mau itu ke Merauke, Morotai atau ujung utara Sumatera, tetep nyambung karena meski beda suku, mereka semua bisa bahasa Indonesia.

Nah semalem pas ngobrol-ngobrol sama warga lokal di Ende, plus seorang temen wartawan yang juga berasal dari sini, gue baru tau kalo di Pulau Flores, tiap kabupaten punya bahasa dan dialek lokal masing-masing. Uniknya, dialek itu beda jauh satu sama lain. Nggak kayak bahasa Jawa di Cirebon yang tetap bisa dipahami orang Jawa di Solo atau Madiun, misalnya.

Di sini, dialek Kabupaten Ende sulit dipahami oleh masyarakat kabupaten Maumere begitu juga sebaliknya. Bahkan di beberapa kabupaten, nggak cuma ada 1 dialek tapi beberapa sekaligus.

Continue reading