Belakangan ini, gue makin khawatir dengan dunia social media terkait dengan perkembangan mental, terutama anak-anak ABG seumur Nadira. Soale makin banyak yang berlomba-lomba supaya viral dan ngetop, dengan bikin konten seajaib mungkin.
Gak jarang pada mengumbar aib pribadi atau rela mutusin urat malu supaya dapet konten yang menggemparkan. Dihujat kanan kiri atas bawah pun no problemo. Yang penting viral, ngetop, masuk FYP. Harapannya, jadi seleb medsos dan tawaran endorsement pun berdatangan.
Gak bisa dimungkiri, banyak yang menganggap popularitas sebagai target. Soale, begitu lo popular, dunia bakal berada di genggaman. Yah gitu deh kira-kira.
Kalo dulu kan jalur untuk jadi selebriti itu ribet. Hanya orang-orang yang bertalenta, cakep, tajir dan punya bekingan yang bisa jadi seleb. Sekarang, dengan adanya medsos, siapa pun bisa jadi seleb.
Waktu awal-awal medsos muncul, hanya yang kreatif dan jago bikin konten yang bisa jadi seleb di Youtube, Instagram, Twitter, dll. Sekarang, banyak seleb-seleb medsos baru yang modalnya cuma bikin konten ajaib, berani buka-buka aib pribadi, dan gak tau malu.
Nanti begitu viral beneran dan dihujat, delete konten dan bikin video minta maaf. Trus anggap semua beres dan lupa.
Padahal, jejak digital itu sulit dihapus lho. Sekali di-upload, ya akan ada selamanya.
*Makanya belakangan gue suka matgay sendiri kalo mau nulis blog atau IG. Mikirin dampaknya gimana, karena khawatir malah jadi bumerang euy.*
Anyway, tentang medsos ini beberapa hari lalu jadi topik obrolan gue sama Nadira. Saat ini, umurnya 12 tahun kan. Dan dia paham banget dengan Youtube, Instagram dan Tiktok. Walaupun belum punya akun di IG dan Tiktok, tapi dia suka lihat-lihat kompilasinya di Youtube dan ngintip pake IG gue.
Waktu itu awal obrolannya gara-gara kasus siswi SMA di Bengkulu yang hina Palestina di Tiktok. Gara-gara kasus tersebut, siswi itu dikeluarkan dari sekolahnya.
Gue gak 100% setuju dengan tindakan sekolah tersebut. Tapi gue jadikan peristiwa itu sebagai contoh untuk Nadira, bahwa kita harus berhati-hati kalo share sesuatu di medsos.
Dampaknya gak main-main, apalagi kalo sampe dibawa ke ranah hukum. Wah bisa berabe.
Selain itu, gue juga jelasin ke Nadira bahwa konten-konten kayak gitu berpotensi bikin kita kena cyberbullying. Dan, berbeda dengan aksi bullying biasa, cyberbullying ini gak kenal waktu, tempat, dan lokasi.
Kalo kita di-bully di sekolah, bully-an akan berhenti waktu kita pulang ke rumah. Untuk cyberbullying, aksi bully akan terus terjadi sepanjang kita online dan terhubung dengan internet.
Emang sih gak kena fisik, tapi mental kena banget. Ini justru lebih serem.

Yah, jadi ortu masa kini, apalagi anak udah remaja pula, emang ngeri-ngeri sedap euy. Tantangannya banyak banget, terutama dari dunia digital.
Anak-anak harus paham karena mereka lahir, besar, dan masa depannya ada di era ini. Kita ortunya wajib belajar untuk bisa memahami dunia digital supaya bisa memberi pemahaman ke anak-anak tentang benefit maupun bahaya dunia itu.
Btw, bocah-bocah yang viral di medsos banyak yang ortunya gak ngerti dunia medsos. Alhasil begitu anak-anak mereka terjerat kasus karena menghina atau beraksi kontroversial di medsos, tinggal ortunya yang nangis karena kaget, koq anaknya bisa kayak gitu.
Sedih ya 😦
Yang lebih sedih lagi, anak-anak ini banyak yang bertingkah aneh-aneh itu karena terinspirasi para seleb medsos yang lebih tua dan dewasa. Influencer ya disebutnya, meski gue gak ngarti dah mereka influence apaan sih selain bikin prank, gak tau malu, pamer harta, dll dsb.
Pokoknya prinsip mereka itu “yang penting viral dulu lah. Masalah bener atau salah mah belakangan.”
Ampun Gusti T_T
