Oversensitive

Masih inget nggak sama postingan gue yang ini ? Ceritanya, atas rikues temen-temen di MommiesDaily, postingan itu di-publish ulang di situs MommiesDaily di sini. Katanya supaya jangkauan pembacanya bisa lebih luas.

Awalnya, terus terang, gue ragu untuk memenuhi permintaan itu. Kenapa? Karena gue sadar, isu agama adalah isu yang sensitif. Apalagi pake dikritik pula, kayak yang gue tulis di situ. Kalo nulis di blog kan beda. Jangkauannya lebih sempit, dan kalo ada yang nuduh macem-macem, yang kena imbasnya cuma gue doang.

Sementara kalo nulis di situs kayak MommiesDaily, jangkauan pembaca lebih luas, dan di sana penanggung jawabnya bukan gue, melainkan Lita, Managing Editornya. Gue khawatir kalo postingan gue itu bikin huru-hara, Lita maupun temen-temen MD dan FD lainnya bakal kena.

Tapi Lita, Hani dan lainnya tetep rikues. Akhirnya gue benerin dikit tata bahasanya, dan voila, jadi deh.

Responnya, just as I expected before, emang rada-rada bikin huru-hara, hahaha.. Komennya rata-rata gak setuju, bahkan ada yang marah, nuding pihak MD aneh-aneh, dll dsb. Negatif lah pokoknya. Ada sih beberapa yang positif dan setuju sama pemikiran gue. Tapi sisanya, ya gitu deh.

Beda banget sama respon yang gue dapet pas tulisan itu gue posting di blog pribadi. Bener berarti dugaan gue. MD itu lebih luas jangkauannya daripada blog pribadi. Jadi reaksi yang gue dapet pun lebih variatif.

Bahkan, menurut temen gue nih, ada lho temannya yang komen begini setelah baca postingan tersebut: “Ya iyalah, wong itu situs punya Yahudi!”. Ebuseettt.. Perasaan, owner MD & FD itu justru keturunan Arab (Affi & Hani) dan Cina (Nopai) deh, bukan Yahudi hahahhaa.. Kalo Managing Editor MD emang kebarat-baratan sih, alias Jawa Barat. Eh wait, berarti orang-orang di balik MD dan FD antek asing semua yaaaa πŸ˜€

Sejenak, meski udah menduga, tapi tetep aja gue agak shock. Maklum gak punya mental seleb πŸ˜› Tapi terus gue pikir lagi dan lagi. Memang ya, amat sangat sulit melakukan kritik terhadap isu berbau agama. Padahal apa yang gue tulis itu nggak fiktif lho. Aseli, nyata dan faktual. Tapi kenapa pada sulit amat menerima kenyataan?

Oh ya ini ada berita tentang sekolah dan fanatisme yang benar-benar terjadi. Bahkan KPAI pun udah diminta untuk menindaklanjutinya. Silakan dibaca di sini ya.

Hal serupa tapi tak sama juga terjadi hari ini. Tadi pagi, gue share foto ex Gubernur Banten tercinta dengan caption “Santun, anti rokok, anti miras, berjilbab, dan nggak kawin cerai. Pemimpin idola banget ya? *yeah I’m just being sarcastic here*”. Respon dari beberapa temen gue pun langsung wuiihh..

Inti postingan itu sebenernya untuk counter isu soal Menteri KKP, Bu Susi Pudjiastuti, yang diserang banyak orang, especially mereka yang mengaku bermoral tinggi. Serangan itu dilancarkan karena Bu Susi merokok, bertato, gak lulus SMA, hobi minum bir dan pernah cerai 2x. Padahal, di balik itu semua, Bu Susi dikenal sebagai sosok yang ulet, hardworking, welas asih, dan dermawan.

Gue sih nggak mau membela Bu Susi habis-habisan ya, wong kenal juga nggak. Gue juga sadar bahwa di dunia yang patriarki ini, sosok perempuan kayak Bu Susi itu emang empuk banget buat dijadiin sasaran para “polisi moral”. Tapi lewat postingan itu, gue cuma pengen bilang ke mereka “Wooiii… Don’t judge a book by its cover, okay?”

Kasian amat Bu Susi. Cuma gara-gara penampilan dan tingkahnya yang nyeleneh, segudang prestasi dan achievement-nya kayak diabaikan gitu. Kerja juga belum. Sebagai orang yang juga sering di-misunderstood, I feel you, Bu! *pukpuk*

Lagian kalo semua pemimpin di negara kita dipilih karena penampilannya doang, nanti kita bakal punya gubernur, menteri, dll yang kece dan santun kayak di sinetron, tapi kapabilitasnya geje. Nah nanti kalo ekonomi melambat, birokrasi berbelit-belit, dan korupsi merajalela, siapa yang harus disalahkan?

Tapi rupanya, hal itu dipermasalahkan sama beberapa orang di friend list gue. Ada yang bilang “Jadi nanti pilih aja wanita yang merokok, sering kawin cerai, tidak berjilbab, dan segudang prestasi lainnya sebagai panutan, gitu?”. Laahhh.. Gagal paham nih orang.

Ada juga yang tersinggung karena gue dianggap menggeneralisir bahwa “semua perempuan berjilbab = korup kayak Atut”. Yaelah Mz *lelah*

Manalah mungkin sih gue menganggap begitu, wong nyokap dan mertua gue berjilbab, adik gue berjilbab, teman dan sodara gue banyak yang berjilbab. Dan gue suka banget sama Bu Risma, walikota Surabaya yang berjilbab dan berwajah santun itu. Jadi intinya mah bukan soal jilbabnya tapi soal menilai orang dari penampilannya.

Emang ya, kritik orang yang lekat dengan isu agama itu complicated. Kayak kalo orang mengkritik sebuah partai agama, eh dibilangnya Islamophobia. Padahal kritik yang dilancarkan lebih karena partai itu sok Islami tapi kelakuannya kok agak bikin malu yaa.

Jadi kayaknya logika mereka gini:

Gue kritik Atut. Atut berjilbab. Artinya gue benci perempuan-perempuan berjilbab.

Atau,

Gue kritik partai X. Partai X adalah partai Islam. Artinya gue benci Islam.

Zzzz….

Kayaknya di agama lain, banyak kejadian kayak gini juga ya. Apalagi kalo agamanya jadi mayoritas. Padahal mengkritik umat sendiri itu sebenernya adalah tanda cinta pada agama kita. Bukan karena benci. Sebab, IMHO, semua agama itu baik, hanya pemeluknya aja yang suka bikin imejnya jelek πŸ™‚

Intinya, don’t be oversensitive, okay? Gue nulis beginian juga sebagai self critic. Supaya kita nggak terjebak dalam paradigma holier than thou, atau gue lebih suci dibanding lo semua.

Ya begitulah curhat saya sore ini. Adios! πŸ™‚

23 thoughts on “Oversensitive

  1. Gua ngikik2 pas baca ekspresi lo mbak, “Yaelah Mz. *lelah*” πŸ˜†
    Iya kdg2 org suka gagal paham ya, ga nangkep maksudnya kita. Harusnya jadi org netral2 aja lah, yg diliat tuh kredibilitasnya, kapabilitas, jgn nyerang urusan pribadi. Penting banget ini biar kedepannya kita ga punya jiwa judgemental.

  2. Pas tau bu susi jadi mentri, sempet kaget jg sih, secara dlu sempet diceritain gmn bu susi pas masih muda nya sama seorang senior disini. Tp klo dr sisi kemauan dan kemampuan kerja sih emang pantas untuk ditunggu sepak terjangnya saat ntar menjabat jd mentri yaah. Semoga membawa lebih banyak kebaikan utk Indonesia.

    Klo soal org2 yg suka gagal paham kayak gt, suka kesel jg y mb. Kdg ya mrk tuh dengernya apa langsung ditelan mentah2 n dikeluarin lg dengan bentuk yg sama sekali lain dr apa maksut kita sebelumnya. Entah krn tingkat pendidikan kurang apa krn emang kecerdasannya yg kurang? Hmmmm..

    • Kayaknya mereka lebih pengen baca/tau info yang sesuai dengan pola pikir mereka, Mak. Jadi informasi dan bacaan bukan untuk broaden their horizon tapi cuma untuk pembenaran. Jadinya ya gitu dehh..

  3. ahahaha…selalu cinta semua tulisanmu mbak. I mean it.
    Sedih sebenernya..aku nyangka ya, sewaktu era twitter, internet, etc endebrei, pastilah beda dengan sebelum-sebelumnya. Ngok. Not.
    Kupikir generasi setelahku (yea, th 2000 ternyata udah 14 tahun yll) pastilah lebih cangcing. Lebih terbuka wawasannya. Lebih bijak. Mereka mempunyai akses informasi yang luar biasa. Maka betapa kecewa sewaktu jaman pilkada DKI Jkt, pilpres dan pengumuman kabinet, kaum yang lebih muda ini masih banyak ternyata yang argumennya sungguh gak cerdas. Sedih..
    Masih jauh ternyata yang namanya revolusi mental. Anak yang lebih muda dari saya 10 tahun lebih, bisa heran karena sahabat saya bermata sipit, atau berjilbab. Padahal di saat saya masih SD, kami tidak kenal namanya pribumi dan ‘non’ (pake kutip karena ya semua ya WNI kok).
    Melihat dan menilai orang melampaui warna kulit, agama, dan harta…terlalu sulitkah? *narik napas panjangg

    • Iya Mak, gue juga suka miris ngeliat semakin mudah informasi kini didapat, kok malah tambah banyak yang gak malu-malu memamerkan betapa limited-nya wawasan mereka. Bahkan bangga dengan sifat rasis dan diskriminatif cuma karena SARA. Gemezzz deh jadinya akoh 😦

  4. Padahal sudah diturunkan surat Iqro ya di Al Quran…Mungkin masalahnya ada pada: kemalasan (sebagian) orang Indonesia untuk membaca. Jatuhnya jadi dangkal, malas memilah, maunya dicekoki lalu menaruh kepercayaan tinggi kepada seseorang semata karena berpenampilan “wah” atau “santun” (salahkan teori Lombroso?). Apa salahnya sih membaca sebanyak mungkin dari berbagai sumber sehingga bisa lebih obyektif dalam menilai sesuatu. Jangan patah semangat ya mbak Ira, tulisanmu keren & justru perlu lebih banyak tulisan-tulisan kayak gini mba, untuk latihan berpikir kritis. Hehe.

    • Nah that’s it. Kalo gue baca-baca banyaak sekali tafsir, analisa dll, banyak yang bilang inilah kenapa ayat pertama Quran yang diturunkan Allah SWT adalah perintah untuk membaca. Dan membaca itu bukan hanya sekadar membaca, tapi juga memahami, menganalisa dan menelaah. Sayangnya, koq banyak yang justru lupa dengan itu. Jadi hobi nyebarin hoax, fitnah dll tanpa cross check dst. Makasih komennya ya Mbak Adis πŸ™‚

  5. Setuju.. Mungkin mental orang Indonesia memang ditentukan sejak pendidikan dasar. Rata-rata sekolah di Indonesia kita diajarkan menjauhi orang-orang yang berbeda agama, belum lagi masa orientasi sekolah yang membodoh-bodohkan, seakan melecehkan dan merendahkan orang lain itu suatu hal yang wajar. Padahal di negara-negara maju, siswa-siswinya pada masa orientasi diajarkan hal-hal yang positif, seperti melatih kepemimpinan sedari dini, berdiskusi, dll.

    Semoga metode pendidikan yang cenderung menjadi ajang pembodohan seperti itu dihapus selama-lamanya dari muka bumi Indonesia. Supaya kualitas sumber daya manusia Indonesia lebih baik, nggak semata-mata hanya mampu melecehkan dan mencela orang lain. Amin!

    • Semoga metode pendidikan yang cenderung menjadi ajang pembodohan seperti itu dihapus selama-lamanya dari muka bumi Indonesia. Supaya kualitas sumber daya manusia Indonesia lebih baik, nggak semata-mata hanya mampu melecehkan dan mencela orang lain.

      Amin!!! *berdoa khusyuk*

  6. Mbaaak…tulisan ini mewakili banget suara hatiku. Secara di friendlist aku, banyak banget aktivis partai islam tapi cara menyimpulkan sebuah fenomena atau peristiwa, lebih kurang kayak yang mb Ira tuliskan di atas. makin ke sini, makin geje deh 😦

    • Iyaaa makanya aku nulis ini untuk ngeluarin uneg-uneg, Mbak. Gundah dan gimanaa gitu baca komen orang2 yang kayaknya soleh soleha dan alim ulama tapi koq santai banget caci maki dan sebar fitnah di socmed. Aku jadi kehilangan panutan kalo gini kaann.. 😦

  7. Sama mba, ini timeline gue juga pada berantem sendiri gegara beginian. Kenapa semua orang ngelihat dari sisi berjilbab dan ga berjilbab. Kenapa ga liat apa yang uda dua-dua nya perbuat buat orang banyak….zzzzzz pusing kepala Barbie. ahahahaha

  8. Kl ikut komentar , kayaknya bakal berkepanjangan juga mb…. Intinya, aku ya aku, kamu ya kamu…
    Kl aku tidak mau di kritik , tidak usah mengkritik orang lain…
    Kl ak ingin dihargai dan dapat respect, hargai dan respect orang lain…

    You will get served what you deserved…

  9. barusan tadi bikin status di fesbuk soal ini. kasian sama bu susinya, emang bu susi ga sakit hati apa dibahas2 kek gitu. dikomen soal ketidakpatutannya dsb. kalo aku jadi bu susi udah bilang “daripada elu2 komen kelakuan gw, padahal kenal aja kagak, mending gw ga usah jadi menteri, ga usah ngurusin tetek bengek beginian. gw ga jadi menteri juga bisa idup, tenang malah idup gw. dikira jadi menteri enak apa?!” hekekekekek
    yang baca aja dan bukan pihak yang diomongin, merasa lelah. bayangin perasaan pihak yang diomongin deh.
    tadi ada yang mosting, sesuatu yang benar itu jangan diturunkan levelnya, misalnya gapapa bertato ngrokok, asal ga korupsi; ga papa kawin cerai, asal ga korupsi. tetap aja itu ga menaati kaidah.
    Ya buatku sih, ga ada yang sempurna didunia ini, kita musti milih. aku milih yang bertato ngrokok tapi ga ngrokok asal ga korupsi deh, daripada halus lembut anggun tapi makan uang rakyat.
    Bukan benerin kelakuan bu susi, belain juga kagak, wong ga kenal. tapi biarkan orangnya bekerja dengan tenang lah. kasian boooo…
    *lelah*

    • Benerr Mbak Dien. Kalo gue mikirnya, dalam memilih barang aja kita punya sederet syarat sesuai peruntukannya. Misalkan, beli kulkas requirement pertama harus dingin. Kalo warna cakep, harga murah tapi gak dingin, buat apa? Nah sama untuk milih pejabat negara. Requirement pertama kan harus cakap, mampu dan anti korupsi. Kalo orangnya sopan, cakep, berwibawa tapi hobi korup dan gak cakap, buat apa?

  10. Ah, mbah Marley memang bijak :
    “β€œWho are you to judge the life I live?
    I know I’m not perfect
    -and I don’t live to be-
    but before you start pointing fingers…
    make sure you hands are clean!”

  11. Jiah kepencet πŸ˜› Bisa tolong digabung dengan kutipan mbah Marley ngga ?
    Orang orang memang suka berasa jadi jagoan dengan membela (apa yang dia pikir) kebenaran …..apalagi ditambah enaknya bersikap holier than thou, plus gampangnya nyalahin, nuduh teori konspirasi dll….jadinya ya gitu deh, pada over sensi tanpa berusaha memahami sudut pandang orang lain.
    Saya setuju dengan salah satu tanggapan, bahwa reading comprehension perlu di perdalam di sekolah sekolah πŸ™‚

    Mbakyu, Life is too short to worry about things outside your controls. You can try changing things that you think is wrong (and I respect you for it) but please do not expect immediate result. MRT tidak dibangun dalam 1 hari πŸ˜›
    Jangan lupa bersyukur bahwa mbakyu dilahirkan di keluarga yang bertoleransi dan tidak fanatik.
    Sekarang tugas utama mbakyu adalah menciptakan iklim tersebut di rumah supaya anak bisa tumbuh dengan sehat tanpa kebencian. Kalau artikel soal sekolah bisa dijadikan penilaian, mbakyu tinggal meneruskan saja πŸ™‚

    NB : Saya tidak suka tatto, dan saya pikir sebagian orang bertatto itu korban mode alias ikut ikutan saja. Tapi saya tidak pernah mengkaitkan tatto dengan moral, kemampuan dll dari orang tersebut.

Leave a reply to Fardelyn Hacky Cancel reply