Learn to Tolerate

Dari kecil, gue udah diajarin toleransi beragama oleh bonyok. Maklum, dari keluarga bokap, ada beberapa sodara yang merayakan Natal. Bahkan, alm Bulik gue (adiknya bokap) beragama Katolik. Jadilah dalam keluarga besar kami, terdapat dua agenda silaturami wajib setiap tahunnya, selain acara arisan atau lainnya, yaitu Lebaran dan Natal.

Karena bokap anak paling besar di Jakarta (kakaknya bokap meninggal dan keluarganya tinggal di Bandung), adik-adik bokap, plus tentu saja alm Bulik, selau bertandang ke rumah kami pada hari Lebaran.  Sementara saat Natal tiba, keluarga besar kami selau ngumpul di rumah alm Bulik untuk bersilaturahmi.  Bahkan hingga kini, saat Bulik udah meninggal, kami tetap bersilaturahmi ke rumahnya.

Ada bedanya nggak? Menurut gue sih, nggak ya. Judulnya tetap silaturahmi. Makanan pun nggak banyak beda. Menu Natal di rumah alm Bulik sama aja sama menu Lebaran di rumah kami. Yang lucu nih, pas Natal tahun lalu, rumah Bulik kebanjiran tamu. Setelah gue perhatiin, 70% tamunya pake jilbab aja dong! 🙂

Yang juga unik, gue dan adik gue sekolah di SD Islam. Sementara sepupu-sepupu gue sekolah di SD Katolik. Paklik gue bahkan pernah menjabat sebagai kepala SD Katolik. Itu semua tidak mengurangi silaturahmi kami kepada keluarga masing-masing.

Yang gue inget, waktu masih kecil, sepupu-sepupu gue suka nanya “Muhammad itu mukanya kayak gimana sih?” dan ngajarin gue lagu-lagu Natal. Sementara gue ngajarin mereka ngucapin Bismillah dan Alhamdulillah, trus suka tanya “Itu kenapa Yesus rambutnya pirang ya?”. Hahahaha.. Of course, semua dilakukan tanpa tendensi apapun. Namanya juga anak-anak ya 😀

Sekarang, gue kerja di kantor yang 80 persen karyawannya beragama Nasrani. Terintimidasi? Nggak tuh. Biasa aja. Bahkan, kalo gue nggak sholat atau puasa, suka ditegur lho sama beberapa teman. Bukannya mereka nosy, tapi cuma sekadar mengingatkan aja.

Trus ya, meskipun yang Muslim cuma sekitar 20%, kantor gue selalu rutin bikin acara buka puasa dan halal bihalal setiap tahun. Dananya swadaya, alias patungan, dari kita untuk kita. Tiap akhir tahun tiba, ada acara Natalan bersama yang ujung-ujungnya ada pembagian hadiah, untuk semua karyawan. Baik itu Kristen ataupun Muslim. Oh ya, pas Natalan tahun kemarin, gue diajak ikutan lomba paduan suara lho. Kebetulan, lombanya dilakukan sesudah kebaktian Natal. Jadi gue nggak ikut kebaktiannya, cuma ikut nyanyinya. Gak sia-sia karena grup kami sukses jadi juara 2! *narsis*

Di pergaulan pun gue nggak pernah melihat seseorang dari agamanya. Mau Kristen, Hindu, atheis sekalipun, asal dia baik dan enak diajak berteman, ya nggak masalah ya. Apalagi, jaman kuliah dulu, gue banyak dicekoki teori-teori pluralisme dan filsafat. Jadi, gue oke-oke aja saat sahabat SMA dan kuliah meminta gue sebagai Maid of Honor dalam acara pemberkatan pernikahan mereka di gereja. Yang jadi masalah waktu itu cuma, acaranya beda lima hari bok. Repot deh gue dari jauh-jauh hari menguruskan badan supaya terlihat ciamik *halaahhh…*

Yang kocak, di kawinan sahabat SMA (poto yang di bawah ini yak), gue si Maid of Honor dan sang Best Man, yang juga sama-sama jadi saksi pernikahan, sama-sama Islam bok. Bahkan si Best Man udah haji. Tapi karena niat gue dan si Best Man sama-sama baik, ingin memenuhi permintaan sahabat-sahabat kami tercinta, ya kenapa nggak? IMHO lho ya 🙂

Dengan toleransi antarumat beragama yang begitu tinggi di sekeliling gue, no wonder gue sering heran kalo ada pertikaian antarumat beragama dimana-mana. Kesannya dibesar-besarkan dan politis banget deh, karena emang kayaknya ada agenda tersendiri tuh. Padahal gue yakin, antara warga negara sendiri anteng-anteng aja tuh. At least that’s what I see in my family, friends and colleagues.

Intinya sih, kalo gue telaah nih, pandangan hidup seseorang akan dibentuk sejak ia masih kecil. Karena gue dari kecil dibesarkan dalam keluarga penuh toleransi, pas gede pun Alhamdulillah cara pandang gue nggak sempit atau fanatik. Untung juga sih hubby dibesarkan dalam keluarga yang serupa. Dulu gue pernah pacaran sama cowok yang keluarganya fanatik abis. Beuuh, capek bok. Soal kepiting haram atau nggak aja bikin kita berantem. Pegel dah!

You’ve got to tolerate
Some of those people that you hate
I’m not in love with you
But I won’t hold that against you

[Super Furry Animals – Juxtaposed with You] 

*baru nyadar, ini lagunya gak nyambung sama tema tulisan ya? Bodo ah, yg penting gue demen hehehe..*

18 thoughts on “Learn to Tolerate

  1. Lomba paduan suara (foto di atas, atas intimidasi yg pake syal kuning itu-ini pengakuan dosa-jadi, boong bener klo pemilik blog ini tidak merasa/pernah terintimidasi. Bentuk intimidasinya, sampe sekarang masih dikenang semua anggota paduan suara eh vokal grup di atas. Saya selaku pengintimidasi, sangat merindu dan menikmati keadaan keterpaksaan semua anggota vokal grup. Bentuk intimidasi itu adalah,goyang gergaji ala Uut Permatasari). Toleransi adalah bentuk yang menyenangkan, menyejukkan dan udahannya bahagia. Saya sebagai teman se-kantor, dan saya beragama Katolik, dan saya orang yang tidak mudah terharu karena saya sosok yang sengak dan sepa, ketika membaca dan mengetik komentar ini, dalam keadaan mata panas dan pandangan mengabur. Rupanya ada selaput air di sepasang mata saya.

    • Duileh, kata-kata intimidasi, sengak dan sepanya gak lupa ditulis lho, hahahaha… 😀

      Iya Mbak, meski waktu mau naik ke atas pentas, tangan berasa dingin banget karena nervous, sekarang jadi kangen masa-masa latihan nyanyi penuh intimidasi itu. Kapan ya kita bisa begitu lagi, hikkss..

  2. Untung ya masih ada orang seperti anda di dunia ini duhai jeung Ira. Gue aja sempet sebel baru2 ini ada yg “mengharamkan” gue ngucapin merry xmas di twitter. Apa yg ada di pikiran mereka tentang harga iman gue ya?

    Yg gue pikirin lagi adalah, kalo kita mau menghargai orang lain Insya Allah kehidupan anak gue/kita nanti akan dipenuhi kasih sayang, bukan prasangka. *tsaelah!

  3. Pingback: Anugerah Terindah yang Kumiliki « Our Diary

  4. Halo Ira, salam kenal ya 🙂
    Seneng deh, baca tulisan tentang toleransi seperti ini. Agama kan harusnya ada untuk memperbaiki hubungan antar manusia ya?
    Saya pernah ‘kena batunya’ dan kaget sewaktu ditolong teman saya waktu saya mau shalat Ied, dan belakangan baru tahu kalau teman saya itu Yahudi, yang imagenya sangat memusuhi Islam, ternyata, nggak juga ya, tergantung pribadi masing2. Buktinya teman saya rela banget bantuin saya yang jelas2 mau shalat Ied (dan orang ini salah satu orang paling baiiik dan maniiis yang pernah saya kenal, hehe).
    Saya percaya dunia akan lebih nyaman ditinggali kalau kita berhenti mempermasalahkan perbedaan, di Islam saja kita diajari untuk Lakum diinukum Waliyadiin. Semoga lebih banyak orang seperti Ira di dunia ini, hehe..Amiin

  5. Halo jugaaa 🙂

    Bener Mbak. Kadang kala, bahkan sering kali, orang-orang yang ringan tangan dan sangat helpful, justru bukanlah orang-orang yang seiman dengan kita.

    Seorang dosen saya pernah cerita, dulu dia punya teman akrab orang Soviet, yang menganut paham Komunis dan Atheis. Tapi orang ini baiiikk banget, suka berderma dan ringan tangan ke teman-temannya. Saat dosen saya tanya “Kamu kenapa melakukan itu? Kamu kan nggak percaya setelah kita mati nanti, kamu bisa masuk surga?”. Si teman itu menjawab “Saya berderma dan membantu karena saya merasa ingin membantu teman-teman saya dan kasian dengan pengemis-pengemis itu. Saya tetap percaya, setelah mati nanti, tubuh saya akan dimakan cacing dan belatung. Gak ada surga dan neraka.”

    Dosen saya pun terpekur. Kita yang mengaku umat beragama, melakukan kebaikan karena di kepala kita ada konsep “berbuat kebajikan akan mendapat pahala”. Jadi kita berbuat baik karena kita berharap akan mendapatkan reward. Sementara temannya yang atheis itu melakukan kebaikan karena dia ingin, tanpa berharap apa-apa.

    Jadi, yang lebih mulia sekarang siapa?

    Btw, saya terharu ada yang baca blog gak penting ini jauh-jauh dari Jepang 🙂

  6. Eiyah, namanya kok nggak keluar ya? Malah judul blog. Maaf ya Ira, bukan maksud nggak sopan ngajak kenalan nggak ngasih nama, tapi gaptek, hehe (atau pikun, maklum menjelang 34 *lho* hehe)

    Eh, blog mu penting kok, hehe, aku suka karena menarik, dan down to earth.
    Ngebantu banget kalau di luar sana dunia masih berputar normal, dan hidup nggak melulu berisi siap2 gempa susulan sama pusing mikirin reaktor nuklir yang nggak dingin dingin, halaah haha…

    Ivo

    • Hahaha.. Gpp Ivo. Oh ya, how’s the situation in Japan, btw? When you posted your comment here, there was an earthquake happened, right? Hopefully you’re okay there 🙂

      Eh koq umur disebut-sebut sih? Jangan buka-buka rahasia doonngg.. Kayak aku dong, forever 25 yo gal 😉

      • Eh, itu salah ketik, maksudnya 24, bukan 34 hahahah, setuju Ra, forever 25 😉

        Disini baik2 aja, considering, Alhamdulillah, meskipun di tengah2 daerah gempa di Tohoku sini, tapi aku di inland, jauh dari Tsunami. Thanks ya Ira 🙂

  7. Pingback: Bin Laden or John Lennon? « Our Diary

Leave a reply to Flowing Northward Cancel reply